Bab 48: Keputusan di Pagi Hari

5 3 0
                                    

Pagi hari di kediaman Tuan Rafiq dimulai dengan tenang. Matahari yang bersinar lembut melalui tirai kamar membuat ruangan menjadi terang. Alina terbangun dengan perasaan campur aduk, memikirkan peristiwa malam sebelumnya dan keputusan besar yang harus diambil. Namun, saat dia membuka mata, Amir tidak ada di sampingnya. Alina merasa sedikit cemas, namun dia tahu bahwa Amir mungkin sudah pergi untuk mempersiapkan hari.

Alina cepat-cepat mandi dan bersiap untuk pergi ke kantor. Setelah berpakaian, dia melangkah keluar dari kamar, menyadari bahwa suasana rumah tidak seperti biasanya. Udara pagi terasa tenang, tetapi ada suasana serius yang melayang di sekitar.

Saat dia menuju ruang makan, Alina melihat Tuan Rafiq, Amir, dan Nadia sudah duduk di meja makan, tampak terlibat dalam percakapan yang serius. Alina merasa sedikit gugup, tetapi dia berusaha menjaga ketenangannya.

“Selamat pagi, semuanya,” sapa Alina, mencoba untuk terdengar ceria meskipun dia merasa ada ketegangan di udara.

Tuan Rafiq mengangkat kepala dan tersenyum lembut. “Selamat pagi, Alina. Ayo, duduklah. Kami baru saja membahas beberapa hal penting.”

Alina duduk di kursi yang disediakan dan menatap meja yang penuh dengan makanan. Dia mengambil piring dan mulai melayani dirinya sendiri, sambil mendengarkan percakapan di sekelilingnya.

Nadia memandang Alina dengan penuh perhatian. “Kami sedang membahas tawaran yang Tuan Rafiq berikan kepada Alina. Tuan Rafiq ingin tahu pendapat kami mengenai keputusan itu.”

Amir memandang Alina dengan tatapan penuh perhatian. “Alina, kamu tahu bahwa kamu telah memberikan kontribusi yang sangat besar untuk perusahaan kami. Kami sangat menghargai semua kerja kerasmu.”

Tuan Rafiq mengangguk setuju. “Betul sekali. Saya sudah mendengar banyak tentang kontribusi kamu dari Amir dan Nadia. Itu sebabnya saya ingin mendengar pendapat kalian mengenai posisi yang saya tawarkan.”

Nadia tampak serius namun tidak keberatan. “Menurut saya, Alina telah menunjukkan kemampuannya yang luar biasa di perusahaan. Dia telah membantu kami menghadapi berbagai tantangan dan masalah dengan sangat baik. Jika dia memilih untuk terus bekerja di perusahaan kami, saya rasa itu akan sangat menguntungkan.”

Alina merasa sedikit lega mendengar dukungan dari Nadia. Dia melihat Amir yang juga tampak setuju. “Saya sepenuhnya setuju dengan Nadia. Alina telah terbukti sangat kompeten dan berdedikasi. Kami sangat ingin dia tetap bersama kami dan melanjutkan kontribusinya.”

Tuan Rafiq memandang Alina dengan penuh pengertian. “Jadi, Alina, sekarang setelah kamu mendengar pendapat kami, bagaimana keputusanmu?”

Alina merasakan kehangatan dan dukungan dari mereka. Meskipun hatinya masih bergetar memikirkan tawaran Tuan Rafiq, dia merasa bahwa bekerja bersama Amir dan Nadia adalah pilihan yang lebih tepat untuk dirinya. “Setelah mempertimbangkan semuanya, saya rasa saya akan lebih baik jika tetap bekerja di perusahaan ini. Saya merasa dapat menyalurkan seluruh kemampuan dan bakat saya di sini.”

Tuan Rafiq tersenyum lebar. “Saya senang mendengar keputusanmu. Kamu telah menjadi bagian penting dari tim kami, dan kami akan sangat senang jika kamu terus bersama kami.”

Setelah makan pagi, Tuan Rafiq mengundang Alina untuk berbicara di ruang kerjanya. Di sana, Tuan Rafiq memberikan sebuah amplop yang berisi uang. “Ini adalah uang gaji dan upah kerja kerasmu selama ini. Kami sangat menghargai semua usaha dan dedikasimu.”

Alina menerima amplop tersebut dengan rasa terima kasih yang mendalam. “Terima kasih, Tuan Rafiq. Ini sangat berarti bagi saya.”

Tuan Rafiq tersenyum dan melanjutkan, “Dan satu hal lagi—sejak kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini, aku ingin kamu merasa seperti di rumah sendiri. Jadi, kediaman ini akan selalu menjadi rumah tetapmu.”

Alina merasa sangat terharu dengan pernyataan itu. “Saya sangat menghargai semuanya, Tuan Rafiq. Terima kasih banyak.”

Nadia, yang sebelumnya tampak agak dingin, kini tersenyum dan mengatakan, “Saya senang kamu memutuskan untuk tetap bersama kami, Alina. Kami benar-benar merasa bahwa kamu adalah aset berharga.”

Amir juga tersenyum dan menambahkan, “Ya, aku senang kamu tetap di sini. Kami akan terus bekerja sama untuk mencapai lebih banyak hal.”

Tuan Rafiq, dengan senyuman nakal, menambahkan dengan nada gurauan, “Oh, dan ngomong-ngomong, aku juga sempat berpikir tentang menjodohkan kamu dengan Amir. Bagaimana menurutmu?”

Alina dan Amir langsung tersipu malu, sementara Nadia tertawa kecil. Amir merasa wajahnya memerah, sementara Alina mencoba menahan tawanya. “Tuan Rafiq, itu hanya sebuah gurauan, kan?” tanya Alina, masih sedikit malu.

“Ya, hanya gurauan,” kata Tuan Rafiq dengan nada bercanda. “Tapi siapa tahu, mungkin ada yang menyukainya.”

Amir, merasa canggung namun juga tersenyum, menanggapi, “Kita lihat saja nanti.”

Dengan suasana hati yang lebih ringan dan penuh tawa, mereka semua melanjutkan hari mereka dengan penuh semangat. Alina merasa lega dan bahagia, mengetahui bahwa keputusan yang diambilnya adalah yang terbaik. Dia merasa diterima dan dihargai di perusahaan yang telah menjadi rumah keduanya.

Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana KekuasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang