Bab 18: Hangat di Tengah Kegelisahan

6 5 0
                                    

Malam sudah larut ketika Alina masih terjaga, duduk di atas tempat tidur dengan pikiran yang berputar-putar di kepalanya. Suara jarum jam yang berdetak terasa begitu keras dalam kesunyian kamar yang hanya diterangi oleh lampu meja. Rasa lelah mulai merayap, namun matanya tetap terbuka, terpaku pada dinding di hadapannya. Hasil tes yang telah ia lalui siang tadi terus-menerus muncul di benaknya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat setiap kali ia memikirkan apa yang akan terjadi besok.

Alina menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, namun kegelisahan itu terlalu kuat. Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah jendela, menyingkap tirai untuk melihat langit malam. Bulan yang hampir penuh bersinar terang, memberikan cahaya lembut yang masuk ke dalam kamar. Alina memeluk tubuhnya sendiri, mencoba mencari kehangatan dalam kedinginan malam.

Tiba-tiba, suara ketukan pelan di pintu mengejutkannya. Alina berbalik, merasa sedikit khawatir. Namun, ketika pintu terbuka perlahan, ia melihat sosok Amir berdiri di sana, membawa sebuah nampan kecil dengan cangkir beruap di atasnya.

“Amir?” bisik Alina, terkejut sekaligus lega melihatnya. “Kenapa kamu masih bangun?”

Amir tersenyum lembut, mendekat dengan langkah pelan. “Aku bisa bertanya hal yang sama padamu, Alina. Aku melihat lampu kamarmu masih menyala. Kukira kamu juga belum tidur.”

Alina menunduk, menyembunyikan rasa cemas yang jelas terlihat di matanya. “Aku tidak bisa tidur… terlalu banyak yang kupikirkan.”

Amir menatapnya dengan penuh pengertian, kemudian menyerahkan cangkir yang dibawanya. “Aku membawakanmu susu cokelat hangat. Mungkin ini bisa membantumu merasa lebih baik.”

Alina menerima cangkir itu dengan tangan gemetar, merasa hangat saat uap cokelat menggelitik hidungnya. “Terima kasih, Amir. Kamu tidak perlu repot-repot.”

“Tidak ada yang merepotkan di sini, Alina,” jawab Amir, senyumnya tak pudar. “Aku tahu malam ini pasti berat bagimu.”

Alina hanya mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Mereka berdua berdiri di sana dalam keheningan sejenak, hingga Amir menatap pintu balkon yang sedikit terbuka. “Bagaimana kalau kita duduk di luar sebentar? Udara malam mungkin bisa membantu menenangkan pikiran.”

Alina mengiyakan tanpa kata, dan mereka berdua berjalan ke taman. Udara malam yang dingin segera menyambut, membuat Alina menggigil sedikit. Namun, ia merasa sedikit lebih tenang berada di luar, ditemani suara angin yang berdesir pelan di antara pepohonan.

Amir menarik kursi untuk Alina sebelum ia duduk di kursi lain di sebelahnya. Alina menyeruput susu cokelatnya, merasakan kehangatan yang meresap ke seluruh tubuhnya. Mereka berdua duduk dalam keheningan yang nyaman, hingga Amir akhirnya berbicara.

“Aku tahu kamu merasa cemas tentang hasil tesmu,” katanya pelan, menatap langit malam yang bertabur bintang. “Tapi apapun yang terjadi, kamu sudah melakukan yang terbaik. Itu yang paling penting.”

Alina menunduk, merasakan beban di dadanya sedikit terangkat oleh kata-kata Amir. “Aku tahu, tapi tetap saja… aku takut kalau aku tidak cukup baik. Kalau aku mengecewakan Tuan Rafiq, atau bahkan kalian semua.”

Amir menoleh padanya, ekspresinya lembut namun serius. “Alina, kamu tidak perlu terlalu keras pada dirimu sendiri. Kami semua tahu betapa keras kamu sudah berusaha. Dan aku yakin, apapun hasilnya, Tuan Rafiq akan mengerti.”

Alina menatap mata Amir, merasakan ketulusan dalam kata-katanya. “Kamu benar… tapi tetap saja, rasanya sulit untuk tidak merasa khawatir.”

Amir tersenyum lagi, lalu tanpa banyak bicara, ia melepaskan kardigan yang dikenakannya dan menyelimutkannya di atas bahu Alina. “Ini, pakailah. Udara malam bisa cukup dingin.”

Alina terkejut dengan gestur itu, namun ia menerima kardigan dengan rasa terima kasih yang dalam. Ia merasa kehangatan tidak hanya dari kardigan yang menutupi tubuhnya, tetapi juga dari perhatian yang Amir tunjukkan padanya. “Terima kasih, Amir. Kamu selalu tahu apa yang kubutuhkan.”

Amir hanya mengangguk pelan, lalu kembali menatap langit. “Kamu ingat malam pertama kita di sini, Alina? Waktu itu kamu juga kesulitan tidur dan kita duduk di sini, berbicara tentang impian dan harapan.”

Alina tersenyum samar, mengingat malam itu dengan jelas. “Ya, aku ingat. Aku sangat gugup waktu itu… dan kamu ada di sini, menemaniku, seperti sekarang.”

Amir tertawa kecil. “Aku tidak tahu kalau kita akan kembali ke sini, dalam situasi yang hampir sama.”

“Tapi sekarang kita sudah berbeda,” tambah Alina, suaranya lebih tenang. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Dan aku merasa lebih kuat karena itu.”

“Kamu memang lebih kuat,” kata Amir, nadanya penuh keyakinan. “Aku melihat perubahan dalam dirimu, Alina. Kamu bukan lagi gadis yang takut menghadapi tantangan. Kamu sudah tumbuh menjadi seseorang yang mampu menghadapinya dengan keberanian.”

Alina merasa hatinya menghangat mendengar pujian itu. Ia menatap Amir, merasa ada sesuatu yang ingin ia katakan namun belum siap untuk diungkapkan. Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan keheningan berbicara lebih dari kata-kata.

“Amir…” Alina akhirnya berkata, suaranya pelan namun jelas. “Kamu tahu, aku tidak akan bisa melalui semua ini tanpa bantuanmu. Kamu selalu ada untukku, memberikan dukungan yang aku butuhkan, bahkan ketika aku sendiri tidak yakin bisa melangkah.”

Amir menatapnya, mata mereka bertemu dalam pandangan yang mendalam. “Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar, Alina. Kamu berarti banyak bagiku… dan aku akan selalu ada di sini untukmu.”

Kata-kata itu terucap dengan begitu tulus, membuat hati Alina berdebar. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih dalam antara mereka, sesuatu yang selama ini terpendam namun semakin jelas. Namun sebelum ia bisa menanggapi, Amir berdiri dan memandangnya dengan senyum lembut.

“Kita sebaiknya masuk sebelum udara semakin dingin,” katanya, suaranya kembali menjadi nada yang ringan. “Kamu butuh istirahat agar siap menghadapi hari esok.”

Alina mengangguk, merasa sedikit kecewa namun juga lega bahwa momen itu berakhir begitu saja. Mereka kembali ke dalam kamar, dan Amir menunggu hingga Alina selesai minum susu cokelatnya dan berbaring di tempat tidur.

“Selamat malam, Alina,” Amir berkata pelan, mematikan lampu meja. “Tidurlah dengan tenang. Besok adalah hari baru.”

“Selamat malam, Amir,” balas Alina dengan senyum di bibirnya, meski pikirannya masih dipenuhi oleh banyak hal. Amir menutup pintu dengan lembut, meninggalkan Alina dalam kegelapan yang kini terasa lebih menenangkan.

Namun, saat Alina menutup matanya, ia tidak bisa menghilangkan rasa hangat yang Amir bawa bersamanya. Ada sesuatu yang berubah malam ini, sesuatu yang belum ia mengerti sepenuhnya. Dan saat ia akhirnya tertidur, ia tahu bahwa hari esok akan membawa lebih banyak pertanyaan, lebih banyak tantangan, dan mungkin… lebih banyak jawaban yang ia cari selama ini.

Dan entah kenapa, Alina merasa siap untuk menghadapi semuanya.

Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana KekuasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang