Malam mulai menjalar perlahan ketika Alina dan Amir serta Nadia kembali ke kediaman Tuan Rafiq setelah seharian menikmati suasana taman kota. Alina membawa beberapa makanan yang ia beli sebagai oleh-oleh untuk orang rumah, sesuatu yang sederhana namun penuh makna bagi mereka yang jarang mendapatkan kesempatan menikmati makanan seperti itu.
Saat mereka tiba di depan pintu utama, Alina mengucapkan terima kasih kepada Amir dan Nadia atas hari yang menyenangkan. Nadia memberikan senyum tipis sebelum masuk ke dalam, sementara Amir tampak agak enggan berpisah begitu saja. Alina menyadari ini, namun tidak ingin memperpanjang percakapan. Ia menyusuri lorong menuju dapur, menaruh makanan yang ia bawa dengan hati-hati, dan kemudian melangkah menuju kamarnya.
Baru saja ia hendak membuka pintu, suara lembut memanggil namanya dari belakang.
“Alina,” panggil Amir, suaranya terdengar sedikit ragu. “Ada waktu sebentar?”
Alina menoleh dan melihat Amir berdiri beberapa langkah darinya, tampak santai namun dengan tatapan yang menyiratkan ada sesuatu yang ingin ia bicarakan.
“Tentu,” jawab Alina, tersenyum. “Ada apa?”
“Ayo kita duduk di taman. Udara malam ini cukup sejuk, dan rasanya sayang jika dilewatkan begitu saja.”
Alina mengangguk, lalu mengikuti Amir menuju taman kecil di belakang rumah. Tempat itu diterangi lampu-lampu taman yang redup, menciptakan suasana tenang yang kontras dengan kesibukan hari-hari mereka. Mereka duduk di sebuah bangku kayu, berhadapan dengan kolam kecil yang memantulkan cahaya bulan.
“Terima kasih sudah menemani hari ini,” kata Amir, membuka percakapan. “Aku harap kamu menikmati waktunya.”
“Ya, sangat menikmati,” Alina menjawab dengan tulus. “Aku tidak pernah membayangkan bisa memiliki pengalaman seperti ini. Makanan, suasana, semuanya... sangat berbeda dari apa yang biasa aku alami di pelabuhan.”
Amir tersenyum hangat. “Aku senang mendengarnya. Kamu butuh waktu untuk rileks, terutama setelah sebulan belajar begitu intens.”
Alina menatap Amir, mencoba membaca ekspresinya. Ada sesuatu dalam cara Amir berbicara yang terasa berbeda. Dia lebih berhati-hati, seolah ada sesuatu yang disembunyikan.
“Malam ini benar-benar indah,” ujar Alina, mencoba mengarahkan percakapan ke suasana sekitar. “Tempat ini sangat damai, jauh dari hiruk-pikuk kota.”
“Benar,” Amir setuju. “Taman ini adalah salah satu tempat favoritku untuk merenung. Di sini, aku bisa berpikir lebih jernih, jauh dari segala tekanan.”
Keheningan sejenak menyelimuti mereka, hanya suara air kolam dan gemerisik angin yang terdengar. Alina merasa bahwa Amir ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia tidak yakin bagaimana memulainya.
“Ada yang ingin kamu katakan, Amir?” tanya Alina, memberanikan diri untuk menanyakan langsung.
Amir menatapnya sejenak, lalu tersenyum samar. “Tidak ada yang serius, sebenarnya. Hanya saja... aku merasa sangat nyaman berbicara denganmu. Mungkin itu yang membuatku ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.”
Alina merasakan ada sesuatu yang lain dalam kata-kata Amir, tapi ia tidak ingin berasumsi terlalu jauh. “Aku juga senang bisa belajar banyak dari kamu. Kamu dan Nadia sangat membantuku selama ini.”
Amir tersenyum lagi, namun kali ini lebih kepada dirinya sendiri. “Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar, Alina. Kamu punya potensi besar, dan aku ingin melihatmu berhasil.”
Percakapan itu berlanjut dengan santai, tetapi Alina tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa Amir sedang menahan sesuatu. Mungkin ini hanya perasaannya, tapi ada nuansa yang berbeda dalam cara Amir berbicara malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana Kekuasaan
Genel KurguDi kota pelabuhan yang keras, Alina, seorang wanita dari kelas bawah, tumbuh dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa. Bekerja di kedai kecil keluarganya sambil belajar dari buku-buku usang, hidupnya berubah ketika seorang pedagang kaya meli...