Bab 32: Bayang-Bayang Ancaman

5 4 0
                                    

Alina kembali ke kediaman Tuan Rafiq dengan perasaan yang bercampur aduk. Pikirannya penuh dengan tanda tanya setelah menerima pesan misterius tersebut. Sepanjang perjalanan, ia tidak bisa berhenti memikirkan siapa yang mungkin mengirimkan pesan itu dan apa maksudnya.

Ketika Alina tiba di rumah, suasana di dalam rumah Tuan Rafiq terasa lebih tenang dari biasanya. Lampu-lampu sudah sebagian besar dimatikan, meninggalkan hanya cahaya lembut dari beberapa lampu di ruang tamu. Udara malam yang sejuk menyelinap masuk melalui jendela-jendela yang terbuka, memberikan kesan nyaman yang sedikit meredakan kegelisahannya.

Alina menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum melangkah ke dalam rumah. Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya.

“Alina,” suara itu, suara yang begitu dikenalinya, datang dari arah belakang.

Alina berbalik dan melihat Amir berjalan ke arahnya. Wajahnya yang biasanya tenang tampak lebih serius, mencerminkan ketegangan yang juga dirasakan oleh Alina.

“Amir,” kata Alina sambil tersenyum tipis, meskipun ia tahu senyum itu tidak bisa menutupi kecemasannya. “Kau belum tidur?”

Amir menggeleng pelan. “Aku tidak bisa tidur sebelum memastikan kau baik-baik saja,” jawabnya. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu.”

Alina mengangguk, mengerti bahwa percakapan ini tidak bisa ditunda. Mereka berjalan beriringan menuju ruang tamu dan duduk di sofa yang terletak di dekat jendela.

“Pesan itu,” Amir memulai setelah beberapa saat hening, “Aku sudah memberitahu Nadia tentang hal ini, dan kami berdua sepakat bahwa ini bisa menjadi ancaman serius. Kami tidak bisa mengabaikan pesan semacam itu, terutama setelah apa yang telah terjadi.”

Alina menatapnya dengan serius. “Aku juga merasa begitu, Amir. Tetapi aku masih tidak tahu siapa yang bisa mengirim pesan itu atau apa yang mereka inginkan. Mengancamku tidak akan memberi mereka keuntungan apapun, kecuali…"

“Kecuali mereka ingin membuatmu takut,” Amir menyelesaikan kalimatnya. “Atau lebih buruk lagi, mereka ingin menguji seberapa jauh kita bisa ditekan sebelum menyerah.”

Alina menghela napas, merasa berat dengan kemungkinan-kemungkinan yang terlintas di pikirannya. “Amir, apa kau pernah berpikir bahwa mungkin ada orang di dalam perusahaan yang terlibat dalam semua ini?”

Amir terdiam sejenak, tampaknya memikirkan pertanyaan Alina dengan serius. “Aku tidak ingin berpikiran buruk tentang orang-orang di perusahaan ini, tapi kita tidak bisa menutup mata terhadap kemungkinan itu. Dunia bisnis ini penuh dengan persaingan, dan terkadang, orang bisa melakukan hal-hal yang tak terduga demi keuntungan pribadi.”

Pikiran Alina mulai berlari, mencoba menghubungkan titik-titik yang terpisah. “Mungkin mereka tidak hanya ingin menakutiku. Mungkin mereka mencoba untuk menggoyahkan kita, membuat kita kehilangan fokus.”

Amir mengangguk, matanya tajam penuh perhatian. “Itu bisa jadi. Tapi satu hal yang pasti, Alina, kita tidak boleh lengah. Kita harus mencari tahu siapa yang berada di balik semua ini sebelum mereka membuat langkah yang lebih jauh.”

Alina merasakan kepercayaan diri mengalir kembali dalam dirinya. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi ancaman ini. Amir dan Nadia ada di sisinya, dan bersama-sama mereka bisa mengatasi apapun yang akan datang.

“Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang,” kata Alina akhirnya. “Setiap langkah yang kita ambil harus diperhitungkan dengan cermat.”

Amir mengangguk setuju. “Aku akan berbicara dengan Nadia besok pagi dan melihat apa yang bisa kita lakukan untuk memperkuat keamanan perusahaan. Kita tidak boleh memberikan mereka kesempatan untuk menghancurkan apa yang telah kita bangun.”

Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana KekuasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang