Malam itu, di ruang santai yang hangat dan nyaman di rumah Tuan Rafiq, Amir dan Nadia duduk berhadapan di sofa yang empuk. Sebuah lampu baca menerangi sudut ruangan, menciptakan suasana tenang dan intim. Amir tampak sedikit gelisah, matanya menatap cangkir teh di tangannya dengan pikiran yang jelas sedang melayang jauh. Nadia, di sisi lain, tampak tenang namun waspada, seperti sedang menunggu saat yang tepat untuk memulai pembicaraan yang sudah lama ia pendam.
Nadia akhirnya memecah keheningan dengan nada yang hati-hati namun tegas, "Amir, aku ingin bertanya sesuatu. Kemarin malam, aku melihatmu keluar dari kamarmu dengan membawa segelas cokelat panas. Lalu, aku melihatmu masuk ke kamar Alina. Ada apa sebenarnya?"
Amir terkejut mendengar pertanyaan Nadia. Matanya membesar sejenak sebelum ia berusaha mengendalikan ekspresinya. "Nadia, kamu mengikutiku?" tanyanya dengan nada setengah bercanda namun jelas merasa tidak nyaman.
Nadia mengangkat bahu ringan. "Bukan mengikutimu, hanya kebetulan melihatmu. Tapi itu membuatku penasaran, Amir. Kenapa kau menghampiri kamar Alina di malam hari? Apakah ada sesuatu yang perlu aku ketahui?"
Amir menarik napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Alina... dia tampak cemas kemarin malam. Aku bisa melihat itu dari caranya bersikap sepanjang hari. Kupikir, mungkin dia butuh seseorang untuk diajak bicara. Jadi, aku membawakannya cokelat panas dan mencoba menenangkannya."
Nadia menatap Amir dengan cermat, seolah-olah sedang mencoba membaca pikirannya. "Kau benar-benar perhatian padanya," katanya perlahan. "Tapi Amir, apakah kau sadar dengan apa yang kau lakukan? Alina masih sangat muda dan baru mengenal dunia ini. Dan kau adalah mentornya. Apa kau pikir tindakanmu itu tidak akan menimbulkan kesalahpahaman?"
Amir mengerutkan alisnya, merasa sedikit tersinggung. "Nadia, aku hanya berusaha membantu. Alina sudah melalui banyak hal dan aku ingin dia tahu bahwa ada orang yang peduli padanya. Aku tidak bermaksud apa-apa selain itu."
Nadia menghela napas pelan, mencoba tetap tenang. "Amir, aku mengerti niatmu baik. Tapi ingatlah bahwa posisi kita berbeda. Kau adalah mentor, seseorang yang ia hormati dan harapkan bimbingan. Kalau kau terlalu dekat dengannya, bisa jadi Alina akan menganggap hubungan kalian lebih dari sekadar hubungan profesional. Itu bisa membuat segalanya menjadi rumit."
Amir terdiam, merenungkan kata-kata Nadia. Ia tahu bahwa Nadia memiliki poin yang valid, tapi di saat yang sama, ia tidak ingin bersikap dingin terhadap Alina. "Aku hanya ingin dia merasa didukung, Nadia. Alina memiliki potensi besar, tapi dia juga masih rapuh. Aku tidak ingin dia merasa sendirian."
Sebelum Nadia sempat merespons, suara langkah kaki terdengar mendekat. Tuan Rafiq baru saja pulang, dan ia melangkah masuk ke ruang santai dengan senyum lelah namun hangat di wajahnya. "Apa yang sedang kalian bicarakan, anak-anakku?" tanyanya dengan nada ringan, meski jelas ia merasakan ketegangan yang menggantung di ruangan itu.
Nadia dan Amir saling bertukar pandang sebelum Amir memutuskan untuk menjawab. "Kami hanya berbicara tentang Alina, Tuan. Ada beberapa kekhawatiran tentang bagaimana kita harus berinteraksi dengannya."
Tuan Rafiq mengangguk, matanya berpindah-pindah antara Amir dan Nadia. "Kekhawatiran? Seperti apa, jika aku boleh tahu?"
Nadia mengambil alih pembicaraan. "Tuan, Alina adalah gadis yang cerdas dan berbakat, tapi dia masih sangat muda dan baru dalam lingkungan ini. Amir tadi malam berbicara dengannya, berusaha menenangkannya, dan meskipun niatnya baik, aku khawatir jika Alina mungkin akan salah memahami niat itu. Sebagai mentor, kita harus menjaga jarak yang profesional."
Tuan Rafiq mendengarkan dengan seksama, matanya mengamati reaksi Amir yang tampak sedikit gelisah. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang dan berkata, "Nadia, aku paham kekhawatiranmu, dan Amir, aku tahu kau hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Alina. Namun, Nadia benar. Kita harus ingat bahwa Alina berada dalam posisi yang sangat rentan saat ini. Dia mengandalkan kita, terutama kau, Amir, untuk membimbingnya. Jika kita tidak berhati-hati, itu bisa merusak kepercayaan yang telah kita bangun."
Amir mengangguk perlahan, meskipun hatinya merasa berat. Ia tahu bahwa Tuan Rafiq benar, tapi sulit baginya untuk tidak merasa empati terhadap Alina. "Aku mengerti, Tuan. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Tapi aku akan lebih berhati-hati mulai sekarang."
Tuan Rafiq tersenyum tipis. "Itulah yang aku harapkan darimu, Amir. Kau adalah mentor yang baik, dan aku yakin kau bisa membimbing Alina dengan cara yang benar. Tapi ingatlah untuk selalu menjaga batas-batas yang perlu."
Amir menatap ke bawah, merasakan beratnya tanggung jawab yang kini semakin jelas baginya. "Terima kasih, Tuan. Aku akan memastikan hal itu."
Suasana di ruangan itu mulai mereda, dan Tuan Rafiq duduk di kursi yang menghadap ke arah mereka berdua. "Kalian berdua tahu, aku melihat potensi besar dalam diri Alina. Itulah mengapa aku memberikan kesempatan ini padanya. Namun, kita juga harus ingat bahwa perjalanan ini tidak akan mudah baginya. Banyak rintangan yang akan ia hadapi, dan sebagai mentor, kita harus berada di sana untuk mendukungnya tanpa membuatnya merasa terbebani."
Nadia mengangguk setuju, sementara Amir masih tenggelam dalam pikirannya. Ia tahu bahwa ia harus menjaga jarak, tapi di saat yang sama, ia tidak ingin meninggalkan Alina tanpa dukungan yang ia butuhkan. "Aku akan tetap mendukungnya, Tuan, tapi aku akan memastikan untuk tidak melangkahi batasan yang ada," kata Amir akhirnya, suaranya mantap.
Tuan Rafiq tersenyum, puas dengan keputusan Amir. "Bagus. Itu yang ingin aku dengar. Sekarang, mari kita semua beristirahat. Esok hari akan menjadi hari yang panjang bagi kita semua."
Amir dan Nadia mengangguk, dan mereka bertiga bangkit dari tempat duduk mereka. Namun, sebelum mereka berpisah, Tuan Rafiq menatap Amir sekali lagi. "Amir, ingatlah, kau adalah salah satu kunci utama dalam perkembangan Alina. Bimbing dia dengan bijaksana, tapi jangan lupa bahwa dia juga butuh ruang untuk menemukan jalannya sendiri."
Amir mengangguk sekali lagi, merasa berat di hatinya berkurang sedikit. "Aku akan melakukannya, Tuan."
Dengan itu, mereka bertiga meninggalkan ruang santai dan menuju kamar masing-masing. Malam semakin larut, dan kesunyian mulai menyelimuti rumah besar itu. Namun, pikiran Amir tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Tuan Rafiq dan Nadia. Ia tahu bahwa ia harus lebih berhati-hati mulai sekarang, tetapi di saat yang sama, ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa Alina membutuhkan lebih dari sekadar bimbingan profesional. Ia membutuhkan seseorang yang benar-benar peduli padanya, seseorang yang bisa mendampinginya dalam perjalanan ini.
Keesokan harinya, Amir bangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa lebih tenang setelah pembicaraan semalam, tapi di sisi lain, ada kekhawatiran yang terus menghantuinya. Apakah ia benar-benar bisa menjaga jarak dengan Alina? Apakah Alina akan mengerti jika ia mulai bersikap lebih formal?
Saat ia bersiap untuk hari yang baru, pikiran-pikiran itu terus mengganggunya. Tapi satu hal yang pasti, Amir tahu bahwa ia harus menghadapi hari ini dengan penuh kewaspadaan dan kebijaksanaan. Dan meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, ia bertekad untuk melindungi Alina—dengan cara yang benar.
Di ruang kerja, Alina sudah menunggu, tampak siap menghadapi tantangan baru. Tapi saat ia melihat Amir masuk, ada keraguan yang sekilas melintas di matanya.
"Amir, apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan suara pelan.
Amir tersenyum, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. "Ya, Alina. Semuanya baik-baik saja. Mari kita mulai hari ini dengan semangat yang baru."
Namun, meskipun kata-kata itu terdengar meyakinkan, ada perasaan yang tidak bisa diabaikan oleh keduanya—perasaan bahwa sesuatu telah berubah, dan mereka harus siap menghadapi apa pun yang akan datang.
Dan dengan itu, hari baru dimulai, membawa serta tantangan-tantangan baru yang akan menguji batasan mereka, baik sebagai mentor dan murid, maupun sebagai dua individu yang berusaha menemukan tempat mereka di dunia yang penuh tekanan ini.
Tetapi, apa yang sebenarnya akan terjadi? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana Kekuasaan
General FictionDi kota pelabuhan yang keras, Alina, seorang wanita dari kelas bawah, tumbuh dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa. Bekerja di kedai kecil keluarganya sambil belajar dari buku-buku usang, hidupnya berubah ketika seorang pedagang kaya meli...