Bab 15: Antara Harapan dan Ketidakpastian

6 5 0
                                    

Pagi itu, Alina terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Hari-hari pelatihannya telah mencapai puncaknya, dan tes akhir bulan yang dia jalani kemarin akan menjadi penentu masa depannya. Setelah hampir tiga bulan berada di bawah bimbingan Tuan Rafiq, dia merasa bahwa seluruh hidupnya tergantung pada hasil dari penilaian ini.

Dia menatap cermin di kamarnya, melihat bayangan dirinya yang sedikit lelah namun penuh tekad. “Ini adalah momen yang akan menentukan,” pikirnya dalam hati. Dia mencoba menenangkan diri dengan mengambil napas dalam-dalam, namun kecemasan tetap menyelimuti pikirannya. Alina tahu bahwa dia telah berusaha keras, tetapi apakah itu cukup?

Setelah mengenakan pakaian sederhana namun rapi, Alina memutuskan untuk pergi ke ruang belajar lebih awal. Ruangan itu adalah tempat di mana dia telah menghabiskan berjam-jam setiap harinya, berlatih dan belajar, di bawah panduan Tuan Rafiq. Namun, pagi ini, ruangan itu terasa berbeda—seperti ada ketegangan yang belum terselesaikan di udara.

Saat Alina tiba di ruang belajar, dia mendapati ruangan itu kosong. Cahaya pagi yang hangat masuk melalui jendela besar, menerangi meja dan kursi yang sudah akrab baginya. Dia duduk di kursinya, memandangi catatan-catatan yang tersusun rapi di meja. Alina membuka salah satu buku yang selama ini menjadi panduan utamanya, namun kata-kata di halaman-halaman itu tidak lagi mampu menarik perhatiannya. Pikirannya terus melayang ke hasil tes yang masih belum ia ketahui.

Waktu berlalu dengan lambat. Alina mencoba mengalihkan perhatiannya dengan membaca, namun gagal. Akhirnya, dia memutuskan untuk berdiri dan berjalan-jalan di sekitar ruangan, mencoba menenangkan diri. Ketika Alina kembali ke meja, dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Pintu ruangan terbuka, dan Tuan Rafiq masuk dengan tenang. Seperti biasa, penampilannya rapi dan penuh wibawa. Di belakangnya, Amir dan Nadia mengikuti, keduanya tampak serius namun memberi senyuman tipis pada Alina.

“Selamat pagi, Alina,” sapa Tuan Rafiq dengan nada ramah. “Kamu datang lebih awal hari ini.”

Alina mengangguk, berusaha menunjukkan senyum meski sedikit gugup. “Selamat pagi, Tuan Rafiq. Ya, saya pikir akan lebih baik jika saya bersiap-siap lebih awal.”

Tuan Rafiq mengangguk setuju, lalu duduk di kursi di seberang Alina. Amir dan Nadia duduk di sofa, tidak jauh dari mereka. Mereka tampak tenang, namun Alina bisa merasakan perhatian mereka yang penuh terhadap apa yang akan terjadi.

“Aku tahu kamu pasti merasa cemas tentang hasil tes kemarin,” kata Tuan Rafiq, membuka percakapan. “Tapi sebelum kita membahas itu, aku ingin kamu tahu bahwa tidak peduli hasilnya, kamu sudah menunjukkan kerja keras dan kemajuan yang luar biasa selama tiga bulan ini.”

Alina mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan kecemasan. “Terima kasih, Tuan. Itu sangat berarti bagi saya.”

Tuan Rafiq tersenyum tipis, lalu mengambil sebuah map dari meja di sampingnya. “Baiklah, mari kita bahas hasil tesmu,” katanya, membuka map tersebut dan mengeluarkan beberapa dokumen.

Alina merasa napasnya tertahan saat menunggu kata-kata selanjutnya keluar dari mulut Tuan Rafiq.

“Secara keseluruhan, aku sangat terkesan dengan kemajuanmu, Alina,” kata Tuan Rafiq akhirnya, menatap Alina dengan serius. “Kamu telah menunjukkan pemahaman yang baik tentang materi yang kita pelajari, dan kamu telah menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dengan baik. Namun, ada beberapa area yang masih bisa kita tingkatkan.”

Alina merasa sedikit lega mendengar kata-kata pujian itu, namun tetap tidak bisa sepenuhnya tenang. “Area apa yang perlu ditingkatkan, Tuan?” tanyanya dengan hati-hati.

Tuan Rafiq menatap dokumen di tangannya sebelum menjawab. “Kamu memiliki kemampuan analitis yang kuat, dan itu sangat bagus. Namun, ada kalanya kamu terlalu fokus pada detail kecil dan kehilangan gambaran besar. Dalam situasi manajerial, penting untuk bisa melihat seluruh gambaran dan membuat keputusan berdasarkan prioritas yang lebih luas.”

Alina mengangguk, mencatat hal tersebut dalam pikirannya. “Saya mengerti, Tuan. Saya akan berusaha untuk lebih fokus pada hal itu ke depannya.”

Tuan Rafiq tersenyum lagi, kali ini dengan lebih lembut. “Aku yakin kamu bisa melakukannya. Ini adalah hal yang bisa dipelajari seiring waktu dan pengalaman. Kamu memiliki potensi yang sangat besar, dan aku melihat itu dalam dirimu.”

Alina merasa sedikit lebih ringan mendengar kata-kata tersebut, namun perasaan ketidakpastian masih menyelimuti pikirannya. “Jadi, apakah itu berarti saya… berhasil dalam tes ini?” tanyanya dengan hati-hati.

Tuan Rafiq tertawa kecil, lalu menggeleng. “Tes ini bukan tentang berhasil atau gagal, Alina. Ini lebih tentang evaluasi—membantu kita memahami di mana kamu berada sekarang dan bagaimana kita bisa membantumu berkembang lebih lanjut.”

Alina menunduk, merasa malu karena telah terlalu fokus pada hasil. “Terima kasih, Tuan. Saya mengerti sekarang.”

“Bagus,” jawab Tuan Rafiq sambil menutup map di tangannya. “Namun, keputusan akhir tentang langkah selanjutnya masih akan kita diskusikan. Aku ingin memberikan waktu beberapa hari untuk merenungkan semuanya dan membuat keputusan yang terbaik untukmu.”

Alina merasakan ketegangan dalam dirinya mulai mengendur. “Baik, Tuan. Saya akan menunggu keputusan Anda dengan sabar.”

Tuan Rafiq berdiri, dan Amir serta Nadia ikut bangkit dari tempat duduk mereka. “Untuk saat ini, nikmatilah waktu istirahatmu, Alina,” kata Tuan Rafiq. “Kamu telah bekerja keras, dan kamu pantas mendapatkan waktu untuk diri sendiri.”

Alina tersenyum, merasa lega untuk pertama kalinya hari itu. “Terima kasih, Tuan. Saya sangat menghargai dukungan Anda.”

Setelah Tuan Rafiq, Amir, dan Nadia meninggalkan ruangan, Alina duduk kembali di kursinya. Pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai kemungkinan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia tahu bahwa apapun keputusan yang diambil Tuan Rafiq, itu akan sangat mempengaruhi masa depannya.

Hari itu berlalu dengan lambat. Alina mencoba untuk mengisi waktunya dengan kegiatan-kegiatan yang biasa dia lakukan, namun pikirannya selalu kembali ke hasil tes dan keputusan yang akan segera diambil.

Saat malam tiba, Alina berdiri di dekat jendela kamarnya, menatap ke langit malam yang penuh bintang. Pikiran tentang apa yang akan terjadi dalam beberapa hari ke depan terus mengganggunya. Dia tahu bahwa keputusan tersebut berada di luar kendalinya sekarang, namun dia tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa cemas.

“Apa yang akan terjadi jika keputusan itu tidak sesuai harapanku?” pikirnya dengan cemas. “Apa yang akan kulakukan?”

Alina merasa bahwa hidupnya berada di titik kritis. Ketidakpastian yang melingkupi masa depannya terasa begitu nyata, dan meskipun dia telah diberi harapan oleh Tuan Rafiq, ketakutan tentang kemungkinan-kemungkinan buruk masih menghantui pikirannya.

Namun, di balik semua kecemasan itu, ada juga secercah harapan. Harapan bahwa segala sesuatu akan berjalan dengan baik, bahwa kerja keras dan dedikasinya akan terbayar, dan bahwa dia akan bisa melangkah maju dengan keyakinan baru.

Ketika Alina akhirnya berbaring di tempat tidurnya malam itu, pikirannya masih berputar-putar. Namun, satu hal yang pasti: apapun yang terjadi, dia akan menghadapi masa depannya dengan keberanian dan ketekunan. Dan meskipun akhir dari perjalanan ini masih belum jelas, dia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang masih menunggu untuk ditemukan.

Dan dengan itu, Alina menutup matanya, berharap bahwa mimpi malam ini akan memberinya jawaban atas semua pertanyaan yang masih bergelayut di benaknya.

Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana KekuasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang