Pagi hari di kantor terasa tenang. Sinar matahari yang masuk melalui jendela besar di ruang kerja Amir menyelimuti ruangan dengan cahaya keemasan. Alina duduk di meja kerjanya, mempersiapkan diri untuk tantangan yang menantinya. Meski hatinya masih dipenuhi kegugupan, Alina berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa setiap langkahnya akan diawasi oleh Amir dan Nadia, dua orang yang kini memegang kunci masa depannya.
Amir, yang berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan tatapan yang dalam. Perasaan yang bercampur aduk masih menguasai pikirannya sejak pembicaraannya dengan Tuan Rafiq dan Nadia semalam. Di satu sisi, ia tahu bahwa ia harus menjaga batas profesional dengan Alina, tapi di sisi lain, ada rasa tanggung jawab yang kuat yang terus mendorongnya untuk mendukung gadis itu dengan lebih dari sekadar saran karier.
"Amir," suara Alina yang lembut namun mantap memecah keheningan. "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan."
Amir berbalik, memperhatikan Alina yang tampak sedikit tegang. "Tentu, Alina. Apa yang ingin kau bicarakan?"
Alina menatap Amir dengan serius. "Aku tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat, tapi aku merasa perlu mengatakan ini. Sejak aku mulai di sini, kau selalu ada untuk mendukungku, dan aku sangat menghargainya. Tapi aku juga merasa bahwa ada sesuatu yang berbeda... sejak semalam."
Amir merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. "Apa maksudmu, Alina?"
Alina menundukkan kepalanya sejenak, sebelum mengangkatnya lagi dengan tatapan yang lebih tegas. "Kau tampak lebih... jauh hari ini. Seperti ada sesuatu yang kau tahan, dan aku tidak ingin itu mengganggu hubungan kerja kita. Aku tahu posisiku di sini, Amir, dan aku tidak ingin membebanimu dengan kekhawatiranku. Tapi aku butuh kejujuran darimu."
Amir menghela napas panjang. Ini adalah momen yang tak terhindarkan, tapi ia tak menyangka akan datang secepat ini. "Alina, aku tidak bermaksud menjauh darimu. Tapi aku memang harus lebih berhati-hati sekarang. Kita bekerja di lingkungan yang sangat menuntut, dan aku ingin memastikan kita tetap fokus pada tujuan kita. Bukan berarti aku tidak peduli padamu, justru sebaliknya. Aku hanya tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman."
Alina mengangguk, meski ada rasa kecewa yang samar di matanya. "Aku mengerti, Amir. Dan aku juga tidak ingin membuat semuanya menjadi rumit. Aku hanya berharap kita bisa tetap bekerja sama dengan baik tanpa ada rasa canggung di antara kita."
Amir tersenyum, mencoba memberikan jaminan. "Kita pasti bisa, Alina. Aku ada di sini untuk membantumu, sama seperti sebelumnya."
Meskipun suasana tampak lebih tenang setelah percakapan itu, baik Amir maupun Alina tahu bahwa ada sesuatu yang telah berubah. Sebuah batas telah ditetapkan, dan mereka harus berhati-hati untuk tidak melanggarnya.
Hari itu berlanjut dengan cepat, dengan Alina fokus pada tugas-tugasnya dan Amir sibuk dengan rapat-rapat penting. Namun, di balik kesibukan itu, pikiran mereka terus kembali ke percakapan tadi pagi. Ada perasaan yang menggelayuti mereka, perasaan bahwa hubungan mereka tidak akan pernah sama seperti sebelumnya.
Sore harinya, setelah sebagian besar karyawan pulang, Nadia memasuki ruang kerja Amir. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak sedikit lebih lembut, seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan tapi ragu untuk memulainya.
"Amir, bisakah kita bicara sebentar?" tanya Nadia sambil menutup pintu di belakangnya.
Amir mengangguk, memberi isyarat agar Nadia duduk. "Tentu saja, Nadia. Ada apa?"
Nadia menatapnya sejenak sebelum akhirnya bicara. "Aku ingin meminta maaf jika tadi malam aku terlalu keras padamu. Aku hanya ingin memastikan bahwa kita tidak membuat kesalahan yang bisa merusak karier Alina atau bahkan kita sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana Kekuasaan
Ficción GeneralDi kota pelabuhan yang keras, Alina, seorang wanita dari kelas bawah, tumbuh dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa. Bekerja di kedai kecil keluarganya sambil belajar dari buku-buku usang, hidupnya berubah ketika seorang pedagang kaya meli...