Bab 17: Keputusan yang Mengubah Segalanya

5 5 0
                                    

Keesokan paginya, Alina terbangun dengan perasaan aneh yang menggelayut di dalam hatinya. Malam itu ia akhirnya berhasil tertidur, namun mimpinya dipenuhi oleh bayangan-bayangan kabur yang tidak jelas. Ada sebuah perasaan yang tidak bisa ia hilangkan, semacam firasat bahwa hari ini akan membawa sesuatu yang tak terduga.

Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela kamarnya, menyinari lantai kayu dengan hangat. Alina menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur. Hari ini adalah hari yang besar—hari di mana Tuan Rafiq akan memberikan keputusan yang akan menentukan masa depannya. Pikiran itu membuatnya gugup, tetapi juga ada semacam antisipasi yang sulit dijelaskan.

Ia beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi. Pagi ini, ia merasa perlu mempersiapkan dirinya dengan baik. Setelah mandi, Alina mengenakan pakaian yang ia pilih dengan hati-hati, sebuah blus putih yang sederhana namun elegan, dipadukan dengan rok hitam. Ia ingin tampak rapi dan profesional, tetapi juga ingin menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang bisa diandalkan. Setelah merapikan rambutnya, ia menatap bayangannya di cermin, berusaha menguatkan diri.

"Apapun yang terjadi hari ini, aku harus siap," bisiknya pada dirinya sendiri.

Setelah merasa cukup siap, Alina meninggalkan kamarnya dan turun ke ruang makan. Di sana, seperti biasa, Nadia sudah menyiapkan sarapan. Wanita itu tersenyum lembut saat melihat Alina mendekat.

"Selamat pagi, Alina," sapanya dengan hangat. "Bagaimana perasaanmu hari ini?"

Alina tersenyum tipis, meskipun ada sedikit kekhawatiran yang masih mengintip di matanya. "Sedikit gugup, Nadia, tapi aku baik-baik saja."

Nadia mengangguk, seolah memahami sepenuhnya. "Itu wajar. Hari ini adalah hari yang penting. Tapi ingat, apa pun yang terjadi, kamu sudah melakukan yang terbaik."

"Terima kasih, Nadia," jawab Alina sambil duduk di kursinya. Ia menyantap sarapannya dengan perlahan, meskipun nafsu makannya tidak begitu baik. Setiap gigitan terasa hambar di mulutnya, pikirannya terus melayang pada pertemuan yang akan datang dengan Tuan Rafiq.

Setelah sarapan selesai, Alina merasa waktu berjalan sangat lambat. Pukul sembilan pagi, ia dipanggil ke ruang kerja Tuan Rafiq. Jantungnya berdegup semakin cepat saat ia melangkah menuju ruangan tersebut. Pintu ruang kerja itu terlihat lebih besar dari biasanya, seolah-olah ada sesuatu yang berat di baliknya.

Alina mengetuk pintu dengan pelan, lalu mendengar suara Tuan Rafiq mempersilakan masuk. Ia membuka pintu dan melangkah masuk, menemukan Tuan Rafiq duduk di belakang meja kerjanya yang besar. Pria itu menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa ditebak, seperti biasa. Di sebelahnya, Amir berdiri dengan tenang, wajahnya juga sulit dibaca. Ada sesuatu yang berbeda di suasana ruangan ini, sesuatu yang membuat Alina semakin waspada.

"Silakan duduk, Alina," ujar Tuan Rafiq sambil menunjuk kursi di depan meja. Suaranya tenang, namun ada nada serius yang membuat Alina merasa semakin gugup.

Alina duduk dengan hati-hati, menjaga sikapnya tetap tenang meskipun di dalam ia merasa sangat cemas. Ia menatap Tuan Rafiq, menunggu apa yang akan dikatakannya.

Tuan Rafiq mengambil sebuah map dari mejanya, membuka isinya, lalu menatap Alina. "Alina, seperti yang sudah aku katakan kemarin, ini adalah keputusan yang tidak mudah. Selama tiga bulan terakhir, kamu telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Namun, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan."

Alina menahan napas, mencoba mempersiapkan dirinya untuk apa pun yang akan ia dengar.

"Pertama-tama," lanjut Tuan Rafiq, "aku ingin mengatakan bahwa aku sangat terkesan dengan dedikasimu. Kamu belajar dengan cepat, dan kamu memiliki kemampuan untuk berpikir kritis dalam situasi yang sulit. Itu adalah kualitas yang sangat penting dalam pekerjaan ini."

Alina merasa sedikit lega mendengar pujian itu, tetapi ia tahu bahwa masih ada lebih banyak hal yang akan dikatakan.

"Namun," Tuan Rafiq melanjutkan, suaranya berubah lebih serius, "ada satu hal yang aku rasa perlu kamu perbaiki sebelum kamu bisa benar-benar melangkah maju. Kamu harus belajar untuk lebih percaya pada instingmu sendiri. Dalam beberapa tes, aku memperhatikan bahwa kamu cenderung ragu-ragu saat harus mengambil keputusan yang sulit. Di dunia nyata, keputusan seperti itu harus dibuat dengan cepat dan tegas."

Kata-kata itu menusuk hati Alina. Ia tahu bahwa ini adalah salah satu kelemahannya, dan ia telah berusaha keras untuk mengatasinya, tetapi mendengarnya secara langsung dari Tuan Rafiq membuatnya merasa sedih. Namun, ia tidak menunjukkan kesedihannya. Sebaliknya, ia menatap Tuan Rafiq dengan tekad.

"Saya mengerti, Tuan. Saya akan berusaha memperbaikinya," jawab Alina dengan suara yang tegas, meskipun di dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang runtuh.

Tuan Rafiq mengangguk, tampak puas dengan jawaban Alina. "Itulah yang ingin kudengar. Dan karena aku melihat potensi besar dalam dirimu, aku telah memutuskan untuk memberimu kesempatan lain."

Alina terkejut, namun ia berusaha tetap tenang. "Kesempatan lain, Tuan?"

"Ya," jawab Tuan Rafiq, wajahnya sekarang menunjukkan sedikit senyum. "Aku ingin kamu bekerja di bawah pengawasan Amir selama tiga bulan ke depan. Kamu akan belajar langsung dari pengalamannya, dan aku ingin melihat bagaimana kamu berkembang dalam situasi nyata."

Amir, yang sejak tadi hanya berdiri diam, akhirnya berbicara. "Aku yakin kita bisa bekerja sama dengan baik, Alina. Ini akan menjadi kesempatan yang bagus untukmu."

Alina merasa campuran emosi dalam dirinya—antara lega karena masih diberi kesempatan, dan cemas tentang tantangan baru yang akan ia hadapi. Namun, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan. "Terima kasih, Tuan. Saya sangat menghargai kesempatan ini, dan saya tidak akan mengecewakan Anda."

Tuan Rafiq mengangguk lagi, lalu menutup map di hadapannya. "Bagus. Mulai besok, kamu akan bekerja dengan Amir. Gunakan waktu ini untuk merenungkan apa yang telah kamu pelajari, dan bersiaplah untuk tantangan yang akan datang."

Alina mengangguk, lalu berdiri. "Baik, Tuan. Terima kasih banyak atas kepercayaan Anda."

Tuan Rafiq hanya tersenyum tipis, lalu melambai dengan ringan. "Pergilah dan istirahatlah. Besok adalah hari yang baru."

Alina meninggalkan ruangan itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena masih diberi kesempatan, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa tantangan yang akan datang mungkin lebih berat daripada yang pernah ia hadapi sebelumnya.

Saat ia berjalan kembali ke kamarnya, Alina tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang belum dikatakan oleh Tuan Rafiq. Sesuatu yang penting, namun disembunyikan dengan sangat baik. Pikiran itu terus mengganggunya, bahkan ketika ia mencoba menenangkan diri di kamarnya.

Malam itu, Alina duduk di kursi di dekat jendela, memandang ke luar ke taman yang gelap. Ia merenungkan semua yang telah terjadi, mencoba memahami apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Ia merasa ada sesuatu yang besar yang akan datang, sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.

Dan saat malam semakin larut, Alina menyadari bahwa masa depan yang ada di hadapannya penuh dengan ketidakpastian. Tapi ia tahu satu hal—apa pun yang akan terjadi, ia harus siap menghadapinya. Keberanian untuk membuat keputusan sulit, itulah yang harus ia miliki. Dan untuk pertama kalinya, Alina merasa bahwa ia mungkin saja memiliki kekuatan itu di dalam dirinya.

Namun, apa yang akan terjadi selanjutnya? Alina tidak tahu. Tetapi satu hal yang pasti—ia tidak akan kembali ke kehidupan yang sama. Jalan di depan terbentang luas, penuh dengan kemungkinan yang tak terduga. Dan Alina, meskipun masih sedikit ragu, merasa bahwa ia siap untuk melangkah maju.

Tetapi saat ia menutup matanya untuk tidur, Alina tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu yang besar sedang menunggunya di luar sana—sesuatu yang akan menguji semua yang telah ia pelajari, dan mungkin, mengubah hidupnya selamanya.

Alina: Dari Kedai Kecil ke Singgasana KekuasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang