16. Tumbang lagi

638 85 17
                                    


"Jika nyawa lebih dari satu, bisakah kita mencoba mati sekali saja?"

⏳⏳⏳

"ZAYYAN!"

Bian yang sudah memejamkan matanya saat melihat Dean menyodorkan pistol reflek membuka mata. Ia melihat Zayyan yang sudah tergeletak di lantai dengan Atha yang tengah panik mengecek keadaan anak itu. Sementara Dean masih berekspresi datar

Bian menatapnya takut. Apakah Zayyan menghalangi Dean dan salah sasaran? Cowok itu mendongak, menatap tajam Dean yang hanya berdiri diam

"LO GILA?! LO TEMBAK ZAYYAN?!" teriaknya sambil berontak hingga ikatan di tubuhnya tiba-tiba saja bisa terlepas. Saking paniknya Bian merangkak ke arah Zayyan.

Tidak ada darah ataupun bekas tembakan seperti dugaannya. Jadi, lagi-lagi Dean hanya menakutinya dengan pistol itu?

"Zayyan cuma pingsan karena masih sakit. Dia emang masih perlu dirawat, tapi maksa buat kesini," ujar Atha yang sudah bersiap untuk menggendong Zayyan. Ia harus cepet membawa adeknya kembali ke rumah sakit.
Atha bisa merasakan tubuh Zayyan yang semakin dingin.

"Selesaikan masalah lo berdua dulu sampai kelar. Jangan bikin Zayyan makin sakit." Setelah mengucapkan itu, Atha langsung melangkahkan kakinya meninggalkan dua orang yang masih diam di sana. Biarkan mereka menyelesaikan masalah itu secepatnya. Ia tidak peduli apapun itu, yang ia pikirkan sekarang hanya tidak ingin melihat Zayyan semakin terluka. Sudah cukup selama ini.

Sepinya jalan dan sekitaran gedung tua itu, membuat keheningan semakin terasa. Bian yang tadi duduk di lantai, perlahan berdiri dengan rasa canggung. Biasanya ia akan menjadi arogan dan selalu egois. Tapi untuk kesalahannya kali ini, seribu kali pun mengelak, semuanya sudah terbukti dan memang benar adanya. Bian merasa bersalah apalagi saat tahu korbannya adalah adek Dean.

"Gue ngaku salah. Sekarang terserah lo mau bikin laporan ke polisi atau apa. Gue nggak bakal kemana-mana. Atau perlu gue nyerahin diri?" lirih Bian berusaha menatap mata Dean. Namun sang empu seperti enggan menatapnya. Wajahnya terlihat datar dan penuh dendam.

"Kenapa lo tinggalin saat lo tabrak dia?" Tanpa menoleh, Dean bertanya. "Lo beneran nggak merasa bersalah waktu itu?"

Bian menggeleng ribut. "gu--gue nggak tau. Waktu itu yang ada di pikiran gue cuma kabur. Gue takut banget, Yan."

"Setelah kejadian itu, gue selalu dihantui rasa bersalah. Gue beberapa kali dateng ke tempat kejadian itu dan semuanya masih kebayang-bayang. Ma-maaf..."

Dean langsung menoleh. Di sana ia melihat Bian yang menunduk penuh penyesalan. Setelah kepindahannya beberapa tahun lalu, mereka memang baru dipertemukan di SMA. Semuanya terasa asing apalagi bertahun-tahun tidak bertegur sapa. Bhima ataupun Bian marah karena Dean yang mereka anggap sahabat tiba-tiba memutuskan pindah saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar tepatnya di kelas lima.

Setelah masuk SMA, mereka benar-benar menjadi sangat asing bahkan seperti musuh yang punya dendam pribadi. Selama itu juga, Dean tahu sikap Bian yang arogan, egois, tak mau kalah, dan suka semaunya sendiri. Dan yang ia lihat sekarang, adalah Bian yang baru. Dengan wajah penuh penyesalan dan mata berkaca-kaca ketakutan.

"Ikut gue," ucap Dean membuat Bian menatapnya penuh tanya.

"Ha? Kemana? Oh ke kantor polisi ya? Ayok."

Dean menatap datar Bian yang menurutnya terlihat seperti orang bodoh. Ia melangkah terlebih dahulu membiarkan Bian berjalan di belakangnya.

***


Regi yang berada di ruang tengah sendirian langsung mengalihkan pandangan saat ada seseorang datang, yang ternyata anak sulungnya. Bagas terlihat sangat lelah dan tidak bertenaga. Pria itu bahkan langsung merebahkan dirinya di sofa dan menggunakan sebelah tangannya untuk menutup mata. Lalu menghela napas panjang.

Zayyan's Different Life ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang