Penyesalan

970 92 3
                                        





Satu hal yang menjadi ketakutan seorang Gavindra selama menjadi orang tua adalah  kehilangan anaknya. Ia menatap tangannya yang berlumuran darah, bahkan kaos dan celananya pun dipenuhi darah sang anak, tangan Gavin bergetar kuat, menandakan bahwa ia benar-benar ketakutan setengah mati, keadaan Al membuatnya pesimis, tangan dingin dan mata tertutup anaknya seakan menandakan bahwa perpisahan bisa saja terjadi detik ini juga. Dan Gavin tengah memohon pada tuhan untuk tidak mengambil miliknya, putranya, anaknyà.

Gavin menatap sebuah jam tangan yang diserahkan oleh perawat saat akan menangani Al, jam tangan yang menjadi kado ulang tahun ke 15 anak itu tahun lalu masih Al gunakan. Setiap detiknya di depan ruang operasi Gavin habiskan dengan ketakutan, bernafas pun sulit, bayangan Al yang menangis memohon agar tidak ia buang terlintas dipikirannya.

Papa Al janji gak akan nakal, Al gak akan ke kantor Papa lagi, Al gak akan banyak tingkah lagi

Al cuma punya Papa

Maaf karena Al hidup Papa jadi seperti di neraka

Papa Al akan pergi kalau sudah waktunya

"Jangan, jangan, jangan pergi, Papa mohon" ujar Gavin sambil menggenggam jam tangan sang anak menunduk dengan airmata yang menetes deras mengenai lantai dingin rumah sakit.

"Papa bahkan belum minta maaf sama kamu" gumamnya

"Kamu salah Al, kamu salah, Papa gak bisa hidup tanpa kamu, Papa hidup karena kamu, Papa bertahan karena kamu nak, jangan tinggalkan Papa"

Tak lama Ghina datang bersama sang Mama, kedua wanita itu melihat Gavin yang berantakan dengan darah yang memenuhi baju hingga tangannya.

"Gavin!!"

"Mbak"

Ghina memeluk adiknya yang benar-benar terlihat hancur, Ghina baru pertama kali melihat Gavin seperti itu, sepanjang ia hidup bersama sang adik, Ghina tidak pernah melihat Gavin sehancur ini, adiknya tidak pernah menangis bahkan saat ayah mereka meninggal dan saat ia berpisah dengan Kanaya. Namun kali ini Gavin seperti orang gila yang menangis sambil terus memanggil nama putra semata wayangnya.

"Mbak, Al mbak"

"Vin, yang sabar, kamu jangan gini kasihan Al"

Dari Ghina kini beralih pada sang Mama, Gavin memeluk sang ibu erat terisak kuat menangisi sang anak yang sedang meregang nyawa.

"Yang sabar nak, berdoa, anakmu kuat"

"Semua salah Gavin Ma"

"Sudah jalan-nya nak, jangan menyalahkan diri kamu sendiri, berdoa, Al anak yang kuat, cucu Mama anak baik, anak kuat"

Beda Gavin beda lagi Kanaya, wanita itu pingsan sejak Al di bawa ke rumah sakit, Ghina lah yang menemani Kanaya sementara Gavin bersama Mama nya menunggu Al.

"Nay, kamu udah bangun?" Tanya Ghina saat baru datang setelah mengantar Mama nya ke ruang operasi.

Saat sampai Ghina melihat Kanaya duduk dengan wajah memerah, "Mbak, anakku mbak, Al mana mbak?"

"Kamu tenangkan diri dulu ya, Al di ruang operasi, Gavin ada disana sama Mama, kamu istirahat dulu"

Kanaya menggelengkan kepalanya, "Gak mbak, aku mau lihat anakku"

Dengan terpaksa Ghina membawa Kanaya be ruang operasi Al. Disana sudah ada beberapa teman Al dan teman Rendi yang menunggu, sudah hampir 3 jam operasi belum juga selesai.

"Vin, gimana Al?" Tanya Kanaya saat sampai di depan mantan suaminya.

Gavin tak menjawab, ia hanya menatap Kanaya dengan mata sayu lalu berdiri memeluk wanita itu, ia tidak bisa menjawab, keadaan Al sangat parah. Dokter melakukan 3 operasi sekaligus di dalam sana. Al mengalami cidera otak, patah tulang bahu dan dislokasi pada pinggulnya. Yang mengkhawatirkan adalah pendarahan yang terjadi di otak Al.

Tempat PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang