Salisa sedang berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia sedang mengecek penampilannya, memastikan sudah sesuai dengan permintaan Ronald yang berpesan kalau bisa outfit-nya seperti saat Salisa meminjam pakaian Salena waktu itu. Sebuah hoodie berwarna abu-abu, jeans hitam, jilbab hitam, dan sneakers berwarna senada dengan hoodie-nya menjadi pilihan yang Salisa kenakan hari ini. Ronald juga meminta izin kalau dia yang akan menjemput Salisa dan mereka akan mengendarai motor ke tempat tujuan. Mungkin karena itu juga Ronald meminta Salisa memakai pakaian yang simple dan nyaman.
Salisa kembali mengecek make up tipis yang ia apply di wajahnya. Gini aja lah ya, nyesuain sama outfit simple gue. Lagian ngapain juga gue effort make up banget, ini kan bukan ngedate beneran.
Suara dering ponsel Salisa berbunyi, nama Ronald terpampang dilayar.
"Halo. Udah di bawah? Oke, saya turun sekarang."
Salisa mematikan sambungan telepon, memasukkan ponselnya ke dalam tas, memeriksa kembali barang bawaannya, tak lupa membawa helm Shaga yang masih dipinjamnya lalu ia meninggalkan apartemennya untuk menemui Ronald yang sudah menunggu di bawah.
***
Ini untuk pertama kalinya Salisa berkendara dengan motor di pagi hari. Jam masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Sinar mentari belum terlalu terik tapi Salisa sudah membentengi dirinya dengan berbagai macam perawatan skincare agar kulitnya tidak rusak terkena sinar UV sebelum berangkat tadi.
Ronald terus membawa mereka ke wilayah yang belum pernah Salisa lewatin sebelumnya. Tadi mereka juga sempat melewati kampusnya Ronald. Dari sana mereka terus masuk ke jalan-jalan yang lebih kecil jauh dari jalan utama.
Beberapa menit kemudian Ronald memarkirkan motornya di depan sebuah tempat yang mirip seperti sebuah pasar. Dari tempat parkiran, mereka masuk melewati jalan yang mempunyai dua sisi, bagian kiri dan kanan yang ditengah-tengahnya terdapat sebuah bangunan kecil seperti pos satpam.
Sepanjang sisi kiri dan kanan di tempat yang seperti pasar itu ada banyak kios. Di sebelah kiri, Salisa perhatikan kios-kios berjejeran menjual berbagai macam alat tulis, yang sepertinya semua lengkap di sini. Dan di sisi kanan lebih didominasi oleh kios makanan dan minuman. Mulai dari makanan ringan dan berat, minuman yang segar seperti jus juga berbagai minuman kekinian bisa ditemukan di sana.
"Wah Ron, ini tempat apa?" Tanya Salisa takjub melihat tempat itu. Meskipun seperti pasar tapi tempat itu bersih dan rapi. Mungkin karena ini masih pagi dan hari minggu juga jadi suasananya belum terlalu ramai.
"Ini namanya Pasar Kampus, Mbak."
"Pasar Kampus?"
"Iya. Kenapa dinamain Pasar Kampus, karena di tempat ini semua kebutuhan untuk mahasiswa itu ada dan harganya juga sesuai dengan kantong mahasiswa Mbak." Jelas Ronald.
"Oohhh..."
"Kemari Mbak."
Ronald yang memimpin jalan di depan, Salisa sedikit tertinggal karena dia berjalan sambil melihat-lihat sekelilingnya. Ternyata mereka sekarang berada di perempatan Pasar Kampus dan Ronald berbelok ke kanan.
Dari perempatan ini kalau belok ke kanan di sisi kanan masih dipenuhi dengan kios makanan, tapi di sisi kirinya banyak kios yang menjual pakaian, jilbab, tas, sepatu, dan aksesoris. Kalau belok ke kiri di sisi kanannya dipenuhi dengan kios yang menyediakan jasa print, cetak foto bahkan membetulkan dan menjual aksesoris barang elektronik juga ada.
Ronald terus berjalan sampai laki-laki itu berhenti di sebuah kios bubur ayam.
"Mbak suka bubur ayam?" Ronald bertanya pada Salisa yang berdiri di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(IM)POSSIBLE
Fiksi PenggemarSalisa Amira wanita mandiri berusia 32 tahun, direktur dari sebuah perusahaan manajemen artis dan pengelola bakat bernama SA Agency. Ekspresi datar, dingin, dan tegas adalah image yang Salisa bangun sejak dirinya bercerai dari mantan suaminya lima t...