18. Melt Down

2.2K 232 43
                                        

Ronald baru menyelesaikan shift-nya. Setelah berganti pakaian ia menyusul Felix yang sedang duduk sambil merokok di kursi taman dekat parkiran The Felix.

"Bro." Sapa Ronald lalu mendudukkan dirinya di sebelah Felix.

"Gue lihat-lihat belakangan ini sibuk banget lo." Felix menyodorkan kotak rokoknya yang disambut Ronald, mengambil sebatang dan menghidupkannya dengan mancis milik Felix.

"Lo yang sibuk! Gue aja baru lihat lo kemari minggu ini." Protes Ronald yang dibalas dengan kekehan oleh Felix.

"Biasa lah bro urusan skripsi."

"Udah sampai mana lo?"

"Persiapan sempro. Lo?"

"Gue minggu ini."

"Good luck, Ron. Lo pasti bisa!"

"Thanks bro. Semoga persiapan lo lancar dan segera dapat jadwal."

Seperti itulah cara kedua sahabat itu saling menyemangati satu sama lain. Bersahabat sejak SMA membuat mereka tidak pernah gengsi untuk saling memberikan afirmasi positif. Apalagi mengingat banyaknya jasa yang sudah Felix berikan kepada Ronald. Menjadi pendengar dikala sahabatnya itu sedang butuh tempat untuk bercerita atau berkeluh kesah adalah hal paling minimal yang bisa dilakukan oleh Ronald. Ia akan selalu siap jika Felix membutuhkan bantuannya, seperti bagaimana yang Felix lakukan selama ini kepadanya.

Karena itu juga malam ini Ronald memutuskan untuk bercerita semua tentang dirinya yang bergabung di SA Agency dan pengalaman ngedatenya bersama Salisa. Ronald merasa bersalah kalau harus menyimpan soal itu dari Felix.

"Apa gue bilang. Mana mungkin lo tega nolak tawaran dia. Jadi gimana sejauh ini pendekatannya?" Felix menaik-turunkan alis matanya, menggoda Ronald.

"Pendekatan apa? Gue cuma mau jadi temannya aja." Bantah Ronald.

"Yakin lo? Lo tuh sadar nggak sih kalau perbuatan lo ke dia itu sweet banget. Seorang Ronald yang bukan siapa-siapanya Salisa tapi dengan sukarela udah effort banget mau ngerancang kencan sebegitunya, menghangatkan hatinya yang dingin, mau bantu dia berbaikan dengan orangtuanya, mengajak dia keluar dari zona nyamannya."

"Gue kasihan aja Lix."

"Kasihan kasihan.. lama-lama jatuh cinta juga lo sama dia. Kan udah gue bilang sama lo dari dulu, pepet terus bro. Salisa loh ini, no kaleng-kaleng."

"Nggak lah. Gue nggak begitu. Jadi temannya aja gue udah bersyukur. Tahu diri gue bro. Lagian Mbak Salisa harus dapetin seseorang yang dewasa dan setara dengan dia."

Ronald sadar betul statusnya yang hanya seorang mahasiswa dan berasal dari keluarga kelas menengah tidak akan mungkin dilirik oleh wanita mandiri kaya raya seperti Salisa. Ia memang mengaguminya tapi untuk jatuh cinta sepertinya Ronald harus membuang jauh-jauh pikiran itu. Berteman dan membantu hidup Salisa menjadi lebih ceria saja sudah cukup bagi Ronald.

"Jangan gitu bro. Yang namanya jatuh cinta nggak kenal tempat, waktu, tua, muda dan kepada siapa. Selagi dia bukan milik orang lain, sah-sah aja jatuh cinta sama dia."

Ronald berdecih, gaya banget temannya yang satu itu. Sudah seperti pakar cinta saja.

"Lo lihat tuh Priyanka Chopra-Nick Jonas atau Luna Maya-Maxime Bouttier. Mereka contoh couple yang ceweknya lebih dewasa dari si cowok. Cocok cocok aja mereka, langgeng lagi." Ujar Felix, mencontohkan pasangan selebritis beda usia yang selalu tampak serasi dan mempunyai hubungan yang langgeng.

"Ya lo mikir lah, Lix. Cowok-cowok yang lo sebutin orang sukses, mapan dan kaya raya semuanya. Ya pantes aja mereka bisa dapetin sekelas Priyanka dan Luna. Lah gue, tamat kuliah aja belum." Ronald menggelengkan kepalanya, menertawakan Felix yang lupa akan fakta itu.

(IM)POSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang