Salisa sama sekali tidak tidur, matanya masih terus menatap pemandangan yang terpapar sepanjang perjalanan. Setelah melewati sebuah desa dengan rumah penduduk yang lumayan banyak, lalu melewati sebuah jembatan yang air sungainya mengalir deras, akhirnya bus berhenti di dekat sebuah masjid dengan model bangunan yang unik bernama Masjid Sa'adah.
"Ron, bangun." Salisa sedikit mengguncang bahu Ronald agar laki-laki itu bangun dari tidurnya.
"Hah? Udah sampai?" Tanya Ronald seperti orang linglung, nyawanya masih belum terkumpul penuh.
"Nggak tahu. Tapi busnya udah berhenti."
Ronald pun melihat keluar jendela, "Oh iya, udah sampai kita."
Sebelum turun Salisa mendengarkan beberapa mahasiswa lain saling berkata dengan kagum sambil melihat keluar jendela bus.
"Wah, masjidnya udah jadi."
"Masyaallah Tabarakallah."
"Alhamdulillah."
Yusuf lalu memerintahkan mereka untuk turun satu per satu. Salisa dan Ronald turun melalui pintu belakang dan ikut berkumpul dengan gerombolan lainnya yang sekarang berjalan mendekati masjid tadi. Masjid itu tampak baru selesai dibangun.
"Ini masjid yang tahun lalu juga mendapatkan bantuan dari hasil penggalangan dana kami, Mbak. Alhamdulillah target satu tahun pembangunan terselesaikan." Jelas Ronald.
Salisa memperhatikan bangunan masjid itu. Pada umumnya terlihat sama dengan masjid kebanyakan yang ditemui, berbentuk segi empat dan terdapat tiang-tiang yang menyangga di terasnya. Yang berbeda adalah masjid yang didominasi warna cokelat itu terbuat dari bahan kayu dan bahan alam lainnya. Nuansa rustic-nya sangat terasa, benar-benar menggambarkan sebuah masjid yang ada di pedesaan.
"Tapi kok aku seperti pernah lihat masjid ini dimana gitu, kayak nggak asing.." Kata Salisa setelah melihat dengan seksama masjid tersebut.
"Kayaknya Mbak udah pernah lihat deh." Jawab Ronald dengan senyum penuh teka-teki.
"Dimana ya, Ron?" Salisa penasaran, seperti jawaban itu sudah berada di kepalanya tapi sulit untuk mengatakannya.
"Coba ingat-ingat, Mbak, nanti kalau udah nemu kasih tahu aku."
Salisa ingin memaksa Ronald untuk langsung memberi tahunya saja tetapi rombongan berasal dari jalan setapak di sebelah masjid barusan tiba. Di antara mereka ada beberapa orang dewasa yang dua diantaranya sudah berusia senja. Salisa tebak pasti sepasang ini adalah pemilik pondok pesantren atau yang biasa disapa dengan kyai dan nyai. Dan beberapa lainnya adalah para santri bisa dilihat dari seragam mereka yang ada logo pondok pesantrennya.
Yusuf sebagai pemimpin rombongan hari ini yang mewakili untuk bersalaman dengan kyai bernama Mustofa itu. Lalu Mustofa mengajak semua rombongan berjalan menuju pondok pesantren yang jaraknya sekitar 250 meter dari masjid, ada plang yang menjadi petunjuk arah dimana letak Pondok Pesantren Sa'adah berada.
Jalan setapak yang menjadi jalur ke pondok, di kanan kirinya banyak ditumbuhi pepohonan yang berjarak sehingga sinar matahari masih bisa menerangi daerah hutan pinggir jalan ini. Tak sampai lima menit pondok pesantren yang sekelilingnya dipagari bambu itu sudah di depan mata.
***
Mereka semua melewati gerbang yang di atasnya ada papan bertuliskan nama pondok pesantren yang ternyata baru berdiri sejak empat tahun yang lalu. Kemudian Mustofa berhenti di sebuah bangunan yang berada di sebelah kanan dekat gerbang. Sepertinya tema pondok di sini memang menyatu dengan alam, karena sepanjang mata Salisa memandang bangunan yang terdapat di sini semua didominasi warna cokelat kayu.
![](https://img.wattpad.com/cover/374363362-288-k694961.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
(IM)POSSIBLE
أدب الهواةSalisa Amira wanita mandiri berusia 32 tahun, direktur dari sebuah perusahaan manajemen artis dan pengelola bakat bernama SA Agency. Ekspresi datar, dingin, dan tegas adalah image yang Salisa bangun sejak dirinya bercerai dari mantan suaminya lima t...