5

24 3 0
                                    

Dress biru muda selutut yang dikenakan Hanna robek ketika para pria mabuk itu menariknya saat Hanna sudah hampir berhasil lepas. Hanna terduduk di tanah, mata lapar kedua pria itu semakin nyalang karena paha Hanna yang terbuka sempurna. Dengan susah payah Hanna berdiri, tetapi cekalan di pergelangan kakinya membuatnya kembali menubruk dada pria itu.

Sebuah pisau lipat kecil teracung di depan wajah Hanna. "Kalau kau mencoba lari lagi, aku tak menjamin wajah cantikmu tetap utuh," ucap pria botak yang sudah membuang botolnya sembarang arah.

Tubuh Hanna mematung. Dihadapkan dengan pisau kecil itu tentu saja nyalinya menjadi kecil. Hanna menutup matanya mencoba pasrah dengan keadaan karena ia tak punya jalan untuk lari. Tapi, suara seseorang yang terjatuh membangkitkan kembali harapannya.

Seorang pria yang tak ia kenal menendang pria bertato itu hingga tersungkur dan tak bergerak sama sekali. Hanna sedikit merasa lega karena bantuan kecil yang ia dapatkan, hanya saja ia terlalu lengah dengan keadaan sekitar. Pria botak itu beralih ke belakang tubuh Hanna dan menancapkan pisaunya di leher. "Mau jadi pahlawan, huh?"

Pria tinggi itu sedikit terkesiap karena tindakan lawan yang tak bisa ia prediksi. "Lepaskan wanita itu, dan kau akan mendapatkan apa yang kau mau," ucapnya dengan tenang.

Ujung pisau kecil itu semakin menusuk leher Hanna lebih dalam. Darah mulai mengalir dengan cepat, membuat Hanna semakin merasa sakit dan pusing. Selain karena tusukan itu, tubuh Hanna juga merasa lelah, ia merasa sudah berada diambang batas.

Pria botak itu tampak berpikir. "Serahkan semua isi dompet dan pin atm!" serunya cepat.

Lelaki yang tak Hanna kenal siapa namanya itu membuang sebuah dompet hitam ke atas tanah dekat dengan kakinya."0412, itu pin-nya."

Tanpa menunggu lama, pria botak itu mencoba memungut dompet di depannya. Hanya saja ia tak cukup pintar, dompet itu sengaja dilempar ke tanah sebagai pancingan. Karena setelah ia menunduk, sebuah tendangan ia dapatkan di kepalanya. Pisau itu terlempar jauh, seiring robohnya ia ke tanah. Karena memang sebelumnya sudah mabuk, tidak cukup banyak gerakan untuk membuatnya tumbang.

Hanna merasa tubuhnya melemah, pandangannya berkunang-kunang hingga ia merasa lututnya mulai tak punya tenaga untuk menahan bobot tubuhnya sendiri. Sebuah tangan menahan pinggangnya sebelum ia tak sadarkan diri. "Jungkook..."

****

Hanna berusaha membuka matanya yang berat. Pandangannya masih kabur meski begitu ia bisa mencium aroma rumah sakit yang begitu pekat. Setelah mengerjap beberapa kali, penglihatannya mulai terang. Cahaya lampu di tengah ruangan membuat Hanna mengerang pelan, ia segera menutupi dengan punggung tangannya, tapi sedikit terkejut ketika mendapati tali infus terpasang di sana.

"Kau sudah sadar?"

Suara bariton pria membuat Hanna menoleh dengan cepat. Jungkook mengusap wajahnya yang terlihat mengantuk, pria itu sudah menunggui Hanna satu harian penuh di rumah sakit, dari malam hingga malam lagi.

"Kenapa kau bisa menemukanku malam itu?"
Ingatan Hanna mulai terputar apik di kepalanya. Tentang malam itu, dua orang pria menyebalkan, dan satu orang pria yang menolongnya. Hanya saja ia tak menyangka jika tubuhnya yang limbung malah ditangkap oleh Jungkook yang Hanna tak tahu pasti kapan pria itu datang.

Jungkook menatap Hanna dengan lekat. Tak ada jawaban yang harus ia katakan pada Hanna. Pria itu mendekat kemudian menarik tubuh Hanna untuk semakin dekat ke arahnya. "Maafkan aku, Han," ucap Jungkook lirih nyaris tak terdengar.

"Ya, aku sudah memaafkanmu." Hanna menepuk pelan bahu Jungkook, memberi afeksi menenangkan untuk pria itu. "Aku akan mencoba belajar hidup tanpamu setelah ini," sahut Hanna penuh tekad.

"Tidak." Jungkook melepas pelukannya dan menggeleng dengan kuat. "Kau tidak ku izinkan melupakanku. Aku akan selalu di sampingmu sampai kapanpun."

Hanna mendengus kesal. "Kau pikir aku mau berpoligami? Jangan mimpi!" Hanna menata napasnya sebelum kembali bersuara, "Aku sudah berbaik hati memaafkanmu, bahkan tak menyentuh sedikitpun pada jalangmu itu! Seharusnya kau berterimaksih padaku karena wanita itu tak terluka sedikitpun. Jadi ... jangan harap aku mau menerima dia sebagai istri keduamu. TIDAK AKAN PERNAH!"

Jungkook bangkit, mencoba memberi jarak pada Hanna yang hampir lepas kendali. Bukan seperti itu maksudnya, bukan menjadikan perasaan Hanna mainan, hanya saja vonis dokter beberapa jam yang lalu membuat keputusannya untuk bercerai mendadak goyah.

"Kita tidak akan bercerai, Han. Itu keputusanku."

Hanna tertawa mengejek. "Kau bajingan, egois, brengsek, aku bahkan tidak tahu sebutan apa lagi yang cocok untukmu saat ini." Selang infus yang bertengger di punggung tangan, Hanna lepas begitu saja. Membuat darahnya keluar dan berceceran.

Hanna bangkit. Mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah Jungkook. "Kita akan tetap bercerai. Kalau kau tidak mau mengurusnya, maka serahkan padaku," desis Hanna.

Jungkook yang sebelumnya masih shock karena Hanna melepas selang infus begitu saja di depannya hanya bisa terdiam mencoba mencerna kalimat yang Hanna ucapkan secara menggebu-gebu. "Tidak ada kata cerai, Han. Aku tidak akan menceraikanmu!"

"PERGI!"

Hanna mengusir Jungkook dengan tangannya. "Aku tidak mau lagi mendengar apapun darimu. Pergi dari sini!"

Jungkook mendesah pelan. Tubuhnya terasa lemas dan beban dipundaknya menjadi lebih berat berkali-kali lipat dari sebelumnya. "Kita tidak bisa bercerai karena kau sedang hamil."

Forgive LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang