14

62 4 0
                                    

"Kau adalah teman pria pertamaku selama hampir delapan tahun ini," ucap Hanna mengawali pembicaraan dengan Seokjin. Mereka berada di pantai, menduduki kap mobil dan menatap luas padang pasir yang gelap.

"Dulu, aku punya sahabat. Namanya Kim Taehyung, tapi... dia tiba-tiba menghilang, sehari setelah aku menerima pernyataan cinta Jungkook."

Seokjin mendengarkan dengan baik. Dalam hati, ia pun penasaran bagaimana masa lalu Hanna yang membuatnya begitu tertarik dengan wanita itu. Seokjin ingin tahu semuanya, bahkan hal terkecil sekalipun.

"Jungkook pria pertama yang menjadi kekasihku, hingga dua tahun bersama, dia memutuskan melamarku." Senyum tipis Hanna terlihat ketika mengingat memori lama, meski begitu tatapannya masih kosong. Seolah kenangan itu masih belum bisa mempengaruhi keseluruhan emosinya.

"Kau tahu, dia selalu menomor satukan apapun tentangku." Hanna menoleh, menatap Seokjin yang masih mendengarkan meski tatapannya hanya tertuju ke depan. "Karena itulah, aku begitu terpukul ketika mengetahui dia mengkhianatiku sampai seperti ini."

"Semua orang pasti merasakan hal yang sama ketika dia dikhiantai. Tetapi, kau orang pertama yang membuatku bergidik ngeri setelah melihat kemarahanmu."

Hanna terkekeh mendengar penuturan Seokjin. "Aku kurang bisa mengontrol emosiku saat marah. Maafkan aku menodai matamu."

"Tidak, itu bukan kesalahan, jadi jangan minta maaf."

Konversasi itu selesai begitu saja karena keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing yang lumayan menghanyutkan. Hingga, Seokjin memberanikan diri untuk bertanya. "Han, apa kau akan bercerai?"

****

"Maaf Presdir, ada seseorang yang memaksa masuk dan mengatakan kalau dirinya bernama Lee Jungkook.  Apakah diizinkan atau diusir?"

Seokjin menatap sekretarisnya dari balik kacamata. Hari ini dia cukup senggang, jadi berbicara sedikit dengan Jungkook tidak buruk juga, meski ia tahu kalau percakapan nantinya akan lumayan menguras emosinya. "Biarkan dia masuk, dan tahan semua orang yang ingin bertemu denganku sebelum dia keluar."

Sekretaris itu menurut. Selang beberapa menit sebuah ketukan dari pintu kembali terdengar. Jungkook datang ditemani seorang pengawal Seokjin yang berjaga dari pintu utama. "Kau bisa pergi, Woobin. Jangan ada yang masuk sebelum kami selesai," titah Seokjin dengan dibalas anggukan patuh.

Jungkook masuk, matanya menajam ketika melihat Seokjin dengan santai melonggarkan dasi dan menggulung tangan kemeja hingga siku. "Dimana Hanna?" tanya Jungkook langsung.

Seokjin terkekeh. "Bukankah kau suaminya? Kenapa menanyakan istrimu pada orang lain?"

"Kau membawanya, menjauhiku, dan mencoba merebutnya dariku!"

"Katakan kalimat itu pada Hanna yang berusia lima tahun. Dasar bodoh!"

Jungkook tersulut emosi, langkah panjangnya menuju Seokjin semakin cepat hingga cekikan di kerah kemeja Seokjin terima. "CEPAT KATAKAN DIMANA HANNA!"

"Kau menyakitinya. Melukai hatinya berkali-kali, kemudian meminta semuanya kembali seperti semula. Kau tahu, Hanna hampir gila karena memikirkan masalahnya denganmu, dan mulai besok dia akan mendatangi psikiater karena dia mulai tidak bisa mengontrol emosinya dengan benar. Selamat, kau berhasil menghancurkannya."

Cekalan di kerah kemeja Seokjin mulai melemah. Jungkook menatap Seokjin dengan mata yang bergetar tak percaya. "Apa kau bilang?"

"Kau tahu dengan benar, mengkonsumi obat penenang saat hamil sangat tidak diperbolehkan. Tetapi, dia harus memilih antara menyehatkan mentalnya sendiri yang kau hancurkan atau menyelamatkan anakmu yang masih ada di dalam kandungannya."

"TIDAK!" Jungkook menutup telinganya dengan kuat. Bukan kalimat seperti itu yang ingin ia dengar. Jungkook hanya ingin tahu keberadaan Hanna, tetapi sebuah kenyataan pahit harus ia telan bulat-bulat.

"Sekarang, setelah semuanya yang terjadi dan ketika Hanna percaya aku bisa memberikan perlindungan padanya, kau pikir aku akan memberitahu keberadaannya padamu? Jangan bermimpi!"

Tubuh Jungkook melemah hingga ia terduduk pada sofa hitam yang berada di tengah ruangan. Tangannya bergetar, lututnya terasa lemas, dan kerongkongannya kering. "Tapi, aku hanya ingin melihatnya. Aku... merindukannya."

Setetes air mata Jungkook jatuh kemudian membawa tetes-tetes berikutnya hingga membasahi lantai yang dipijaknya. Pria itu menangis dalam diam, ia tak pernah mengira jika apa yang dilakukannya membuat hidup Hanna begitu kacau.

"Ku mohon bawa aku bertemu dengannya, ku mohon," isak Jungkook sambil berlutut dan memegang kaki Seokjin.

****

"Kau tunggu disini, ingat perjanjiannya."

Jungkook mengangguk patuh. Matanya menatap sebuah bangunan yang di dalamnya ada Hanna di sana. Hatinya bergemuruh, terlebih ketika tahu jika tempat itu milik Ahn Seokjin, seorang pria baru yang berhasil mendapat kepercayaan dari wanitanya.

Seokjin memasuki Villa, matanya berpendar mencari sosok Hanna yang terlihat sedang berkebun dengan Bibi Woo dari balik teras halaman belakang, hati Seokjin menghangat ketika melihat senyum Hanna yang begitu antusias mendengarkan Bibi Woo.

"Ah, Tuan Muda. Anda sudah pulang." Bibi Woo segera berdiri dan mengelap tangannya dengan rok coklat tua yang ia kenakan.

Hanna ikut menoleh, matanya berbinar ketika melihat Seokjin datang. Wanita itu segera melepas topi berkebunnya dan mendatangi Seokjin yang menyandarkan bahunya pada pintu kaca geser yang ada di sana. "Cepat sekali? Ini bahkan belum jam makan siang," tanya Hanna mulai mendekat. "Ada apa? Apakah ada yang penting?"

Seokjin merapikan tubuhnya. "Aku ingin berbicara, tapi ku harap kau dengarkan aku dulu sebelum marah."

Hanna menaikkan sebelah alisnya, matanya memicing mencoba menebak-nebak apa yang akan dikatakan pria jangkung itu. "Baiklah, aku mendengarkan."

Sementara itu, Jungkook masih berdiri mematung di depan mobilnya. Jarak antara mobil dan rumah itu lumayan jauh, meski begitu ia bisa melihat Hanna membuka tirai jendela dan menatapnya dari lantai dua. Jungkook mencoba tersenyum lebar, setidaknya Hanna sudah tahu jika dia ada di sini.

"Maaf..." ucap Hanna lirih pada Seokjin yang duduk menghadapnya.

"Tidak, seharusnya aku yang meminta maaf karena membuat pelarianmu jadi kacau."

"Aku tidak menyangka bisa begitu merepotkanmu seperti ini. Padahal, kita baru kenal dan bertemu, tapi seolah aku sudah mengenalmu berpuluh-puluh tahun hingga aku bisa percaya kau bisa melindungiku."

"Aku menyukainya."

Kalimat Seokjin membuat jantung Hanna berdetak lebih cepat. "Apa maksudmu?"

"Menolongmu, membuatmu merasa aman, dan menjadi orang yang kau andalkan, aku menyukainya. Aku benci melihatmu menangis, hatiku gelisah jika sehari saja aku tak bisa melihatmu. Menurutmu, apa yang seharusnya aku lakukan dengan perasaanku?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Forgive LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang