13

38 6 1
                                    

Hening. Selama beberapa menit Hanna dan Jungkook hanya bicara lewat mata. Hanna tahu ia bisa melakukan apapun, terlebih menyakiti Bella, ia lebih dari mampu melakukannya. Hanya saja, apa Jungkook bisa mengatasinya? Pria itu tahu betul keluarga Hanna memiliki kekuatan mutlak dan kekuasaan yang tak bisa dianggap remeh.

"Aku menyerah," lirih Jungkook. "Kau tahu dengan benar jika aku takkan bisa mengatasinya."

Hanna melipat kedua tangannya di depan dada. Dagunya terangkat, saat ini ia merasa menang. Padahal Jungkook memang tak mengajak perang sama sekali. "Aku tidak sebaik itu, Bella akan hancur di tanganku jika kau membiarkan ku marah."

"Aku tahu. Jadi, silahkan hukum aku saja. Aku akan menerimanya," pasrah Jungkook. Lututnya turun dan menatap Hanna dengan wajah memohon.

"Kau bahkan siap berlutut demi wanita itu, suatu hal yang tak pernah kau lakukan untukku."

"Tidak, jangan berpikir aku mencintainya sama seperti aku mencintaimu," potong Jungkook cepat. "Hanya saja, memang aku yang terlalu bodoh. Ku pikir aku bisa merelakanmu, tapi ketika saat ini aku melihat kenyataan kau datang bersama pria itu, aku sadar aku masih sangat mencintaimu."

Hanna mendenguskan tawa. "Jadi, aku harus membuatmu cemburu dulu baru mengakui jika kau mencintaiku? Konyol!"

"Han... ku mohon. Ayo berbaikan, demi anak kita."

Hanna meraih satu bangku yang ada di kamarnya kemudian duduk berhadapan dengan Jungkook yang masih berlutut. "Ada dua hal yang membuatku semakin membencimu. Pertama, kau meninggikan suaramu padaku, dan kedua... kenyataan kau berlutut demi wanita itu semakin membuatku muak."

Jungkook semakin sadar jika menggapai hati Hanna menjadi mustahil setelah dua fakta yang Hanna ucapkan dengan penuh penekanan. "Lalu, aku harus apa? Katakan padaku."

Hanna kembali berdiri, membuat Jungkook menatapnya dengan berdongak penuh. "Nikmati saja dulu waktumu. Selama aku tidak menghubungimu, maka jangan cari aku."

Hanna meraih kopernya, langkahnya panjang menuju pintu keluar dengan Jungkook yang kembali membuntutinya. Tepat setelah kaki Hanna menginjak rumput halaman, Jungkook menahannya dengan memeluknya dari belakang. "Jangan pergi..." ucap Jungkook yang terdengar seperti lirihan kesakitan.

Hanna menatap Seokjin yang bersandar pada pintu mobil. Pria itu, meski baru beberapa kali bertemu, tak membuat Hanna takut untuk semakin dekat. Seokjin juga membuatnya merasa aman, dan pria itu sudah tahu terlalu jauh tentang dirinya dan masalahnya.

"Lepaskan, atau kau tidak akan pernah melihatku lagi."

Tubuh Jungkook menegang. Pelukannya mengendur, meski begitu ia tak melepaskannya begitu saja. "Aku akan menemukanmu kemanapun kau pergi atau menghilang dari pandanganku."

Hanna berbalik. "Aku akan datang padamu jika kau bisa membuat Bella tak lagi ada di sampingmu atau anak itu batal lahir di dunia ini. Apa kau bisa?"

****

Hanna kembali ke villa Seokjin. Tubuhnya terasa remuk dengan sakit kepala yang cukup mengganggu. Semburat jingga tampak dari jendela yang menandakan malam akan segera tiba. Hari ini Hanna merasa lelah, tubuhnya tak bertenaga setelah bertemu dengan Jungkook tadi siang.

Suara ketukan di pintu sewarna batang pohon ek membuat Hanna mencoba bangun dengan tubuh yang lumayan berat. Tampak senyum Seokjin ketika Hanna membuka mata, tapi senyum itu seketika luntur ketika melihat Hanna hampir jatuh.

"Hanna!?! Kau kenapa?"

Hanna memegang kepalanya yang berdenyut, mulutnya terasa kaku hingga akhirnya hanya gelap yang ia lihat. Hanna kembali tak sadarkan diri, kalau Seokjin ingat-ingat, ini adalah kali kedua ia menemukan Hanna lemah dan hampir pingsan. Tanpa menunggu persetujuan dari Hanna, Seokjin segera menelepon bibi Ahn yang merupakan dokter kandungan.

Tubuh Hanna terbaring rapi dengan selimut abu tua yang menutup hingga batas perut, tangannya sudah terpasang infus juga beberapa diffuser yang membuat ruangan itu menjadi lembab. Di samping kiri, ada dokter Ahn Hyori yang masih setia mendampingi, juga Seokjin yang berdiri di ambang pintu dengan menggigit ibu jarinya.

Ahn Hyori melirik keponakannya yang tampak khawatir pada wanita yang sekalipun tak pernah ia lihat. Hyori menghampiri Seokjin, ada beberapa pertanyaan yang ia tanyakan sebagai seorang bibi, dan Seokjin mengerti itu hingga mereka memilih turun ke lantai satu dan bicara dengan tenang.

"Jadi, siapa wanita hamil yang ada disana?" tanya Hyori mengawali pembicaraan.

"Kalau aku bilang dia sebagai calon istriku, bagaimana?"

Hyori mengangkat satu alisnya. "Anak dalam kandungannya, apa itu milikmu?"

Seokjin menggeleng lemah. Kepalanya ia sandarkan pada sofa hingga wajahnya menatap penuh pada langit-langit ruangan. "Milik suaminya," jawab Seokjin lemah.

"Kau merebut istri orang!?!"

Hyori terbelalak tak menyangka. Kalau wanita single, Hyori mungkin bisa membantu keponakannya itu untuk bicara dengan keluarga besar, tapi kalau istri orang lain yang direbut oleh Seokjin, Hyori tak berani membelanya dari sang Kakek.

"Tidak! Argh, aku susah menjelaskannya Bi, yang pasti aku jatuh cinta dan aku sedang berusaha memperjuangkannya," jelas Seokjin sambil merenggut rambutnya sendiri.

"Jatuh cinta? Sangat tidak dirimu sekali!" sindir Hyori dengan bibir tercebik. "Aku lihat dia seperti wanita baik-baik, berbeda dengan beberapa wanita yang ku lihat bersamamu sebelum-sebelumnya. Hanya saja... apa Kakek akan merestui dirinya yang ternyata akan menjadi janda jika kau berhasil merebutnya? juga seorang anak yang akan lahir nantinya?" Hyori menatap khawatir pada Seokjin yang terlihat tak bersemangat. "Biar bagaimanapun, kau Ahn Seokjin. Cucu pewaris, dan semua embel-embel keluarga ada di belakang punggungmu. Kau yakin dia wanita yang tepat?"

Kalimat Hyori berputar-putar dalam benaknya bahkan ketika sudah malam dan dirinya sudah bersiap ingin tidur. Seokjin menyambangi kembali kamar yang di tempati Hanna. Wanita itu masih sama, tertidur dengan pulas setelah beberapa obat masuk lewat cairan infusnya. Seokjin tahu, ia memilih jalan buntu. Perasaannya tak tahu akan terbalas atau tidak, sedang hatinya meronta-ronta ingin bersama.

"Kau belum tidur?"

Sibuk dengan pikirannya, Seokjin bahkan tak tahu Hanna terbangun dan berbicara padanya. Pria itu tiba-tiba menjadi linglung dan sulit berbicara. Maka, tak ada kata yang terucap selain anggukan yang Seokjin lakukan.

"Aku... lapar," ucap Hanna pelan dan sedikit malu-malu.

"Kau mau makan apa?" tanya Seokjin cepat.

"Aku tak yakin bisa memakannya di jam seperti ini." Hanna melirik jam digital yang ada di atas nakas samping tempat tidur, pukul satu pagi.

"Katakan saja dulu, baru setelah itu kita pikirkan cara mendapatkannya," sahut Seokjin tenang dan tetap berdiri di depan pintu.

"Ramen... tapi, di market kecil yang ada di samping pantai. Aku pernah memakannya di sana beberapa tahun yang lalu, dan malam ini aku ingin sekali makan di sana."

Seokjin terdiam. Mencoba mencerna dan memikirkan jalan terbaik dari keinginan Hanna yang terlontar. "Mau makan ramen bersamaku?"

Forgive LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang