7

27 5 2
                                    

Hanna ingat. Pria itu adalah pria yang sama yang menolongnya malam itu. Hanna mengusap air matanya dengan cepat. Ia lupa belum berterimakasih dengannya. "Terimakasih sudah menolongku malam itu, Tuan." Hanna meraih tangan lelaki itu kemudian menyalaminya beberapa kali. "Mungkin, aku tidak akan ada disini jika kau tak ada," ucapnya sambil tersenyum lebar.

Lelaki itu tampak terkejut dengan perubahan mood Hanna yang begitu cepat. Pasalnya, dia melihat dengan sangat jelas bagaimana wanita itu meringkuk sesenggukan. "Ah, ya. Semuanya berkat Tuhan. Apa Anda baik-baik saja, Nyonya?"

Hanna mengangguk cepat. "Ya. Aku baik. Jangan terlalu formal. Panggil saja aku, Hanna."

"Baiklah, aku Ahn Seokjin. Anda bisa memanggilku Seokjin," ucap pria jangkung itu sambil tersenyum.

Hanna melihat dengan sudut matanya sebuah bus sudah hampir sampai di halte. "Aku harus segera pergi. Bisa minta kartu namamu, aku akan mentraktirmu makan sebagai bentuk ucapan terimakasihku."

Seokjin segera membuka dompetnya. Dompet hitam yang sama yang ia lemparkan malam itu, sebuah kartu nama sudah Hanna genggam. Ucapan perpisahan yang singkat sudah Hanna ucapkan lengkap dengan lambaian tangannya pada sosok Seokjin yang masih terpaku di pelataran halte.

Hanna masuk ke dalam bus dan menduduki bangku paling ujung. Matanya menutup ketika punggungnya sudah bersandar penuh. Bulir air mata kembali menetes pada sudut matanya. Hanna membiarkannya mengalir hingga menyentuh dagu tanpa berniat mengusapnya sama sekali. Rasa sakit itu kembali muncul, tawa itu kembali terdengar, tapi ada suatu hal yang membuatnya membuka matanya dengan cepat.

"Tuan Seokjin?"

Tanpa Hanna sadari, Seokjin mengikutinya hingga memasuki bus, dan memberikan sebuah sapu tangan yang menempel lembut pada pipinya. Pria itu entah kenapa ingin berada di sisi Hanna, hatinya mendadak tak nyaman ketika melihat Hanna kembali menangis dengan diam.

"Aku tidak akan mencari tahu apa masalahmu, tapi aku tidak nyaman membiarkanmu sendirian. Kau bisa menganggapku tidak ada. Aku akan duduk di sana." Seokjin menunjuk sebuah bangku ujung yang sejajar dengan bangku yang Hanna duduki. "Aku tahu ini pertama kali kau naik bus, aku sudah membayarnya. Jadi ... nikmati waktumu." Seokjin bangkit dan menduduki tempat yang sudah ia tunjuk sebelumnya.

Hanna tertegun. Pria itu menghangatkan hatinya untuk yang kedua kali. Menatap pada Seokjin yang juga ikut menutup matanya, Hanna tak bisa berkata apa-apa selain membiarkan pria tak di kenal itu berada dekat dengannya. Kenyataan tentang pertolongan pria itu padanya, membuat Hanna merasa aman.

Bus kembali melaju. Seokjin sedikit melirik kemana arah bus itu, kemudian kembali menutup matanya. Hatinya mendadak tak karuan, ini terlalu berlebihan. Wanita itu sudah memiliki suami, ucap Seokjin pada batinnya sendiri. Tetapi, binar mata itu, senyum itu, seolah memiliki magnet kuat yang membuatnya ingin terus mendekat.

Tak terasa sudah satu jam perjalanan. Seokjin terlelap, selain karena bus ini tidak banyak penumpang, Seokjin bahkan lupa kapan ia bisa tertidur dengan nyenyak meski dalam posisi tidak nyaman seperti ini. Seokjin merasa ada seseorang yang mencolek pipinya beberapa kali, matanya terbuka dengan erat, Seokjin masih mengumpulkan nyawanya ketika Hanna sudah berada di sampingnya dengan rambut terurai yang sialnya begitu cantik di mata Seokjin.

"Seokjin-ssi, aku akan turun di sini. Kau mau ikut atau pulang?"

Pria dengan bibir penuh itu membenarkan tubuhnya. Matanya menatap sebuah halte yang di kelilingi oleh padang rumput yang terlihat tenang. Tatapan bingung dari Seokjin menggelitik hati Hanna hingga membuat sudut bibirnya tertarik ke atas.

"Tak jauh dari halte ini rumahku. Mau mampir?"

****

Jungkook menatap ruangan kosong yang Hanna tempati dengan wajah bingung. Ponsel yang tergeletak di lantai dengan layarnya yang retak menjadi pemandangan pertama ketika ia membuka pintu. Tak lama seorang perawat datang, memberitahukan jika Hanna keluar dari rumah sakit dengan terburu-buru. Jantung Jungkook seketika ingin meloncat keluar, ia tak bisa menelepon Hanna karena ponsel yang sudah rusak itu adalah milik Hanna.

"Sial! Kemana dia!"

Jungkook akhirnya mendatangi keamanan rumah sakit untuk melihat cctv, di layar, Jungkook melihat jika Bella mendatangi Hanna dan tak berselang waktu Hanna keluar dengan menangis. Perasaannya mendadak campur aduk, sebab kepergian Hanna pasti saja akibat dari kedatangan Bella. Entah apa yang mereka berdua bicarakan, membuat Jungkook harus memutar haluannya menemui Bella.

"Apa yang kau bicarakan dengan Hanna!?!"

Pundak Bella menjengit terkejut mendengar nada marah Jungkook . "Aku hanya membicarakan fakta. Kenapa kau semarah itu?"

Sebelumnya Bella bahagia ketika Jungkook mendatanginya, ia sudah tak bertemu dengan lelaki itu selama hampir tiga hari, tapi melihat wajahnya yang tak bersahabat membuat senyumnya luntur, hatinya menjadi sakit ketika Jungkook datang hanya untuk menanyainya tentang Hanna.

"Bukankah kita sudah memberitahu semua faktanya, aku sudah jujur padanya tentang perasaanku padamu, lalu kenapa kau harus mendatanginya lagi. Kau tahu, sekarang Hanna menghilang. Aku tidak bisa melacak keberadaannya karena ponselnya rusak dan ditinggalkannya begitu saja di rumah sakit. Seharusnya kau tak perlu melakukannya, mendatangi Hanna hanya memperburuk keadaan!"

Bella merasa perutnya berdenyut sakit. Tetapi, ia mencoba melupakan rasa sakit itu karena Jungkook benar-benar menyebalkan saat ini. "Aku tidak akan mendatanginya kalau saja kau tidak membatalkan rencanamu untuk menceraikannya. Kau membohongiku, Jungkook! Apa kau sadar itu?" teriak Bella marah.

"Aku tidak bisa menceraikannya untuk saat ini, aku memintamu untuk menunggu, bukan? Kau bilang kau akan selalu di sisiku dan memahami semuanya. Kau lupa dengan ucapanmu sendiri?"

"Sampai kapan? Sampai anak ini lahir dan menjadi gunjingan semua orang? Atau sampai kau tidak mencintaiku lagi dan kembali pada Hanna!?! Apa pengertian seperti itu yang kau inginkan? Jangan gila?!"

Jungkook menghela napasnya dengan kasar, meraup wajahnya frustasi dan memilih menduduki sofa untuk meredam emosinya, ini adalah pertengkaran pertamanya dengan Bella. Wanita itu sebelumnya begitu penurut hingga membuat Jungkook jatuh cinta bukan kepalang. Sedang bersama Hanna, ia merasa dikendalikan, membuat Jungkook terkadang tak mempunyai kewibawaan sebagai kepala rumah tangga.

"Dia hamil, Hanna mengandung anakku," lirih Jungkook.

Mata Bella membulat. Kalimat Jungkook berhasil membuat lututnya lemas hingga ia bersimpuh di lantai. Mendadak sakit di perutnya semakin menusuk-nusuk, penglihatannya memburam, dan ia merasa rok-nya basah. Bella menatap lantai yang mulai di aliri cairan kental berwarna merah.

"Ju...Jungkook, kenapa ada darah disini?"

Forgive LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang