.......
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Verona duduk di samping tempat tidur Samudra, menggenggam tangan kekasihnya yang kini tampak semakin lemah. Wajah Samudra pucat, matanya terpejam, dan napasnya terdengar pelan, seperti ritme lembut yang sedang berjuang untuk tetap bertahan. Verona menatapnya dengan perasaan campur aduk, antara harapan yang mulai memudar dan ketakutan akan kehilangan yang semakin nyata.
Sejak mereka kembali dari taman rumah sakit sore itu, Samudra tampak semakin lelah. Langkahnya semakin berat, dan kata-katanya semakin jarang. Dokter yang merawat Samudra sudah memberikan peringatan, bahwa waktu yang tersisa untuk Samudra mungkin tidak lama lagi. Namun, meski Verona sudah mempersiapkan dirinya untuk saat itu, kenyataannya tetap menghantamnya seperti badai yang tak terhindarkan.
"Samudra," panggil Verona lembut, suaranya nyaris berbisik. Dia tidak ingin mengganggu ketenangan Samudra, namun keinginan untuk berbicara dengan kekasihnya sebelum semuanya berakhir mengalahkan segalanya.
Samudra membuka matanya perlahan, menatap Verona dengan tatapan yang lembut namun penuh kepasrahan. "Verona," jawabnya pelan, bibirnya bergerak dengan susah payah. "Gua di sini."
Air mata Verona menggenang, namun dia menahan diri untuk tidak menangis. Dia tahu Samudra tidak ingin melihatnya bersedih. "Gua di sini sama lo, Samudra. Gua nggak akan pergi ke mana-mana."
Samudra tersenyum tipis, meskipun jelas terlihat betapa sulitnya untuk melakukannya. "Gua tahu, Verona. Dan itu membuat gua tenang."
Verona meremas tangan Samudra lebih erat, seakan dengan itu dia bisa memberikan kekuatan pada pria yang dicintainya. "Gua nggak tahu harus bilang apa, Samudra. Gua cuma… gua nggak mau kehilangan lo."
Samudra mengangguk pelan, memahami perasaan Verona. "Gua juga nggak mau ninggalin lo, Verona. Tapi ini sudah waktunya. Gua bisa ngerasainnya."
Verona memalingkan wajahnya sejenak, mencoba menyeka air matanya yang mulai jatuh. "Gua nggak siap, Samudra. Gua pikir gua bisa, tapi ternyata nggak."
Samudra mengangkat tangannya yang lemah dan menyentuh pipi Verona, mengusapnya dengan penuh kasih.
"Nggak ada yang pernah siap, Verona. Tapi gua mau lo tahu, gua nggak akan pernah benar-benar pergi. Gua akan selalu ada di hati lo."
Verona menutup matanya, merasakan sentuhan Samudra yang semakin dingin di pipinya. "Gua tahu, Samudra. Tapi gua takut. Takut gua nggak bisa jalanin hidup tanpa lo."
"Lo bisa, Verona. Lo lebih kuat dari yang lo kira," jawab Samudra, mencoba memberikan kekuatan terakhirnya kepada Verona. "Gua udah lihat itu berkali-kali. Dan gua bangga sama lo."
Malam semakin larut, dan di luar, hujan mulai turun perlahan, seakan langit pun ikut merasakan kesedihan yang melingkupi kamar itu. Suara tetesan air hujan yang lembut mengiringi percakapan mereka, menciptakan suasana yang melankolis.
"Verona," panggil Samudra lagi, suaranya semakin lemah. "Gua pengen minta satu hal terakhir dari lo."
Verona membuka matanya, menatap Samudra dengan mata yang penuh air mata. "Apa pun itu, gua akan lakuin, Samudra."
Samudra tersenyum kecil, senyum yang penuh dengan cinta dan keikhlasan. "Gua pengen lo janji sama gua, kalau lo akan terus hidup dengan bahagia. Gua nggak mau lo terjebak dalam kesedihan. Hidup lo masih panjang, dan gua mau lo bisa menikmati setiap momennya."
Verona merasakan tenggorokannya tercekat, namun dia tahu ini adalah permintaan terakhir Samudra, dan dia tidak ingin mengecewakannya. "Gua janji, Samudra. Gua akan coba untuk hidup bahagia, buat lo."
Samudra mengangguk pelan, matanya mulai menutup kembali. "Terima kasih, Verona. Gua cinta sama lo… selamanya."
Dan dengan itu, Samudra terdiam. Napasnya semakin pelan, semakin tipis, hingga akhirnya hilang sama sekali. Verona merasakan tangan Samudra yang mulai kehilangan kehangatannya, dan pada saat itu, dia tahu bahwa Samudra telah pergi.
Tangis yang selama ini tertahan akhirnya meledak. Verona menjerit dalam kesedihan yang tak tertahankan, memeluk tubuh Samudra yang kini dingin dan tak bernyawa. Dia menangis sejadi-jadinya, merasakan sakit yang begitu dalam, seolah-olah seluruh dunia telah runtuh di sekelilingnya.
Di luar, hujan semakin deras, seakan-akan alam pun turut berduka atas kehilangan ini. Suara gemuruh petir menyertai hujan yang turun dengan derasnya, menggambarkan betapa besar kesedihan yang dirasakan Verona saat itu. Dia terus memeluk Samudra, berusaha merasakan kehangatan yang pernah ada, namun kini telah hilang.
Waktu seakan berhenti di kamar itu. Verona tidak peduli pada dunia luar, tidak peduli pada apa yang terjadi di sekitarnya. Hanya ada dia dan Samudra, dalam momen terakhir yang menyakitkan ini. Tangisannya terus berlanjut, memenuhi ruangan dengan suara isak yang memilukan.
Para perawat yang mendengar tangisannya segera datang ke kamar, namun mereka hanya bisa berdiri di ambang pintu, menundukkan kepala mereka dengan rasa hormat dan duka. Mereka tahu, momen ini adalah momen paling sulit bagi Verona, dan mereka tidak ingin mengganggunya.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Verona akhirnya melepaskan pelukan pada tubuh Samudra. Dengan tangan gemetar, dia merapikan rambut Samudra, menyeka air mata yang masih menetes dari matanya sendiri.
"Samudra. Gua akan ingat janji gua sama lo."
Dengan hati yang hancur, Verona berdiri dari tempat tidur, menatap wajah Samudra untuk terakhir kalinya. Wajah yang dulu penuh dengan kehidupan, kini tampak tenang dan damai. Verona menundukkan kepalanya, memberikan ciuman lembut di kening Samudra, sebagai salam perpisahan yang terakhir.
"Selamat tinggal, Samudra. Gua akan selalu cinta sama lo, selamanya."
Malam itu, Verona keluar dari kamar rumah sakit dengan langkah yang berat. Hujan yang deras menyambutnya, namun dia tidak peduli. Dia berjalan dengan pandangan kosong, merasakan setiap tetesan hujan yang seakan ingin membasuh kesedihannya. Namun dia tahu, luka di hatinya tidak akan sembuh secepat itu.
Dalam hati Verona, kenangan tentang Samudra akan selalu hidup. Cinta mereka akan terus berlanjut, meski kini hanya menjadi kenangan. Verona tahu, dia harus kuat dan terus maju, karena itulah yang diinginkan Samudra. Dan meskipun itu adalah hal yang paling sulit yang pernah dia lakukan, dia bertekad untuk memenuhi janjinya.
Hari itu, dunia Verona berubah selamanya. Samudra telah pergi, namun cintanya akan tetap hidup, mengiringi setiap langkah Verona dalam perjalanan hidupnya yang masih panjang. Verona tahu, dia harus menghadapi dunia tanpa Samudra, namun dia juga tahu bahwa Samudra akan selalu ada di hatinya, menjadi cahaya yang menerangi jalannya.
.........
Selamat tinggal..... Samudra
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect love [ End]
JugendliteraturKisah seorang gadis bernama Verona memiliki status sebagai ketua OSIS keamanan di sekolah nya. suatu hari dia di pertemukan dengan seorang laki-laki bernama Samudra murid pindahan yang memiliki kondisi lumpuh pada kedua kaki nya. Verona dan Samudra...