Bab 9: The Turning Point

59 4 0
                                    

Ruangan gelap itu hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu meja di sudut. Hyejin duduk di depan cermin, wajahnya terlihat tegang, matanya berkilat penuh tekad.

Di tangannya, dia memegang buku harian Jiwon yang telah dia temukan beberapa hari yang lalu. Halaman-halaman itu berisi rahasia kelam yang bisa menghancurkan suaminya dalam sekejap.

Dia menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Ini adalah momen krusial.

Jika dia menggunakan informasi ini, semuanya akan berubah. Dia tahu Jiwon tidak akan diam saja. Resiko yang dia hadapi sangat besar, bahkan bisa saja mengancam nyawanya.

Namun, dia juga tahu bahwa ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk menghentikan Jiwon dan membebaskan dirinya dari belenggu pernikahan yang penuh kebohongan ini.

"Apa yang harus kulakukan?" gumamnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.

Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat. "Aku harus melakukannya. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini."

Dengan keputusan bulat, Hyejin menutup buku harian itu dengan tegas dan memasukkannya ke dalam tas kecilnya. Dia tahu langkah selanjutnya adalah bertemu dengan Minho dan memulai rencana mereka. Namun, di dalam hatinya, dia merasa ada ketakutan yang mengintai.

Dia harus bersiap untuk segala kemungkinan. Karena begitu dia melangkah ke jalan ini, tidak ada lagi jalan untuk kembali.

Malam itu, setelah memastikan Jiwon sudah tertidur, Hyejin menyelinap keluar dari kamar mereka. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara. Ketika dia mencapai ruang tamu, dia terkejut melihat Jiwon duduk di sana, menatap ke arah pintu dengan senyuman licik di wajahnya.

“Kemana kau pergi, Hyejin?” tanyanya dengan nada santai, tetapi ada ketegangan di balik setiap katanya.

Hyejin terpaku di tempat, jantungnya berdetak kencang. "Aku... Aku hanya ingin minum air," jawabnya cepat, mencoba bersikap setenang mungkin.

Jiwon bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat, matanya mengamati setiap gerakan Hyejin. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang sedang kau rencanakan?” ucapnya dengan nada yang begitu tenang, namun mengandung ancaman.

Hyejin merasa seolah-olah tanah di bawah kakinya goyah. Dia tahu Jiwon tidak percaya padanya, dan semakin lama dia menahan rahasia ini, semakin berbahaya situasinya.

“Aku tidak mengerti apa maksudmu,” Hyejin mencoba menyangkal, tetapi suaranya bergetar.

Jiwon hanya tertawa kecil, lalu tiba-tiba menarik tas kecil dari tangan Hyejin. Dengan satu gerakan cepat, dia membuka tas itu dan menemukan buku harian yang disembunyikan Hyejin.

“Kau pikir kau bisa menyembunyikan ini dariku?” tanya Jiwon sambil memegang buku harian itu tinggi-tinggi, seolah-olah itu adalah sebuah trofi kemenangan.

Hyejin terdiam, matanya membulat melihat benda yang sekarang ada di tangan suaminya. Segalanya telah berantakan. Dia telah gagal.

“Kau benar-benar berani, Hyejin,” kata Jiwon dengan nada dingin. “Tapi kau lupa satu hal penting. Aku selalu satu langkah di depanmu.”

Hyejin merasa dunianya runtuh. Jiwon semakin mendekat, menatapnya dengan mata penuh kebencian. Dia tahu ini bukan akhir yang baik.

“Tapi jangan khawatir,” lanjut Jiwon dengan nada licik. “Aku punya rencana untuk kita berdua. Kau akan menyesal telah mencoba melawan aku.”

Hyejin menahan napas, menunggu apa yang akan dilakukan Jiwon selanjutnya. Namun, yang dia lakukan hanyalah tersenyum, senyum yang mengirimkan getaran dingin ke seluruh tubuh Hyejin.

Hari-hari berikutnya berlalu dalam ketakutan. Hyejin selalu waspada, menunggu apa yang akan dilakukan Jiwon selanjutnya. Namun, Jiwon tidak melakukan apa-apa yang mencolok.

Dia hanya menjalani kehidupannya seperti biasa, tetapi dengan pengawasan yang lebih ketat terhadap Hyejin.

Setiap gerakan Hyejin dipantau, setiap percakapannya didengar. Jiwon telah membuatnya merasa seperti seorang tawanan dalam pernikahan mereka.

Namun, insiden besar itu datang pada suatu malam, saat Hyejin berada di kantor Minho. Mereka sedang membicarakan langkah selanjutnya ketika pintu ruangan itu terbuka dengan keras.

Beberapa pria berpakaian hitam masuk dengan ekspresi keras, dan Hyejin langsung merasakan bahaya yang datang.

"Keluar dari sini!" teriak Minho, mencoba melindungi Hyejin.

Namun, salah satu pria itu menodongkan pistol ke arah mereka, membuat Minho dan Hyejin terdiam. Di belakang mereka, Jiwon masuk dengan senyuman dingin di wajahnya.

“Kau benar-benar berpikir bisa mengkhianatiku dengan aman, Hyejin?” katanya sambil mendekat.

Hyejin merasa ketakutan menjalar ke seluruh tubuhnya. “Apa yang kau lakukan, Jiwon?”

Jiwon tertawa kecil, lalu mengisyaratkan kepada anak buahnya untuk menangkap Minho. “Aku hanya memastikan bahwa tidak ada yang bisa menghalangi jalanku. Minho ini... dia hanya gangguan kecil.”

Hyejin merasa panik saat melihat Minho ditangkap dan dipaksa berlutut di hadapannya. “Jangan lakukan ini, Jiwon!” teriaknya dengan suara bergetar.

Tapi Jiwon hanya menatapnya dengan dingin. “Ini adalah peringatan untukmu, Hyejin. Jika kau mencoba melawan lagi, hasilnya akan jauh lebih buruk.”

Pria-pria itu mulai menyeret Minho keluar dari ruangan, sementara Hyejin hanya bisa berdiri di sana, tak berdaya.

Segalanya terasa runtuh di sekelilingnya. Minho, sekutu terdekatnya, kini terancam. Semua yang telah dia rencanakan, semua keberaniannya, tampaknya sia-sia.

Tapi saat itu juga, dalam keputusasaannya, Hyejin merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ini bukan saat untuk menyerah. Meski Jiwon telah menghancurkan harapannya, dia tahu bahwa dia tidak bisa diam saja.

Jika dia ingin selamat dan menyelamatkan orang-orang yang dia sayangi, dia harus berjuang lebih keras, lebih pintar.

Dengan pandangan yang penuh tekad, Hyejin menatap Jiwon. "Aku akan melawanmu, Jiwon. Ini belum berakhir."

Jiwon hanya tertawa kecil, tetapi di dalam hatinya, Hyejin sudah tahu bahwa pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai.

Twisted HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang