Bab 29: The Endgame

45 1 0
                                    

Suara langkah kaki Hyejin bergema di koridor yang sepi, setiap langkahnya penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Dia tahu bahwa ini adalah akhir dari segalanya—akhir dari pertempuran mereka yang telah berlangsung begitu lama. Dia mengingat semua momen yang membawanya ke titik ini, dan hatinya berdebar kencang saat dia mendekati pintu ruang kerja Jiwon.

Dengan satu tarikan napas, Hyejin mendorong pintu itu terbuka. Di balik meja, Jiwon duduk dengan tenang, seolah-olah sudah menunggu kedatangan Hyejin. Ekspresinya tidak terbaca, tetapi ada kilatan di matanya yang menunjukkan bahwa dia siap untuk apapun yang akan terjadi.

“Hyejin,” sapa Jiwon dengan suara tenang, terlalu tenang untuk situasi ini.

“Ini sudah berakhir, Jiwon,” kata Hyejin tegas, berdiri dengan kepala tegak di depan meja itu.

Jiwon berdiri, berjalan perlahan mengelilingi meja, mendekati Hyejin. “Kamu sudah banyak belajar selama ini, Hyejin. Tapi kamu tidak mengerti satu hal—ini tidak pernah benar-benar berakhir.”

Hyejin menatapnya, penuh dengan rasa amarah dan kebencian, tetapi juga kesedihan yang mendalam. “Kamu benar. Tidak ada yang benar-benar berakhir, tapi ini adalah akhirnya bagi kita.”

Jiwon tertawa kecil, suara tawa yang dingin dan penuh dengan keputusasaan. “Kamu masih naif, Hyejin. Kamu tidak tahu apa yang harus kamu lakukan setelah ini. Dunia ini lebih gelap dari yang kamu bayangkan.”

“Aku tahu,” jawab Hyejin sambil mengeluarkan dokumen-dokumen yang dia kumpulkan dari tasnya, menamparkannya di meja. “Dan aku siap menghadapi kegelapan itu, tapi tanpa kamu.”

Jiwon menatap dokumen-dokumen itu, mata gelapnya menyipit. “Kamu pikir ini cukup untuk menghancurkanku? Kamu pikir dengan ini, kamu akan menang?”

“Aku tidak perlu menang, Jiwon. Aku hanya perlu bebas,” jawab Hyejin, suaranya tenang namun penuh dengan kekuatan yang tak terduga.

Jiwon meraih dokumen-dokumen itu, memeriksa isinya dengan cepat. Ekspresinya berubah, dari marah menjadi penuh kesadaran bahwa Hyejin telah benar-benar memojokkannya. Untuk pertama kalinya, Jiwon melihat bahwa dia mungkin tidak memiliki jalan keluar. Namun, dia juga tahu bahwa Hyejin dihadapkan pada dilema moral yang besar.

“Kamu bisa mempublikasikan semua ini, Hyejin,” kata Jiwon pelan, suaranya hampir berbisik. “Kamu bisa menghancurkan hidupku, menghancurkan semuanya. Tapi bisakah kamu hidup dengan keputusan itu?”

Hyejin menatapnya, hatinya bergejolak dengan berbagai emosi. Dia tahu bahwa satu langkah salah bisa membuatnya terjerumus ke dalam kegelapan yang sama yang telah menelan Jiwon. Tapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa mundur sekarang.

“Aku tidak akan membiarkan kamu menghancurkan lebih banyak nyawa, Jiwon,” katanya dengan tekad. “Tapi aku juga tidak akan menjadi sepertimu.”

Jiwon mendekat, mencoba menangkap tangan Hyejin, tetapi dia menarik tangannya. “Ini bukan soal menjadi sepertiku, Hyejin. Ini soal bertahan hidup. Dunia ini tidak memberikan ruang bagi mereka yang lemah.”

“Aku tidak lemah,” jawab Hyejin tegas. “Aku hanya tidak akan membiarkan kegelapanmu menghancurkanku.”

Untuk sesaat, mereka berdiri dalam diam, mata mereka terkunci dalam konfrontasi emosional yang mendalam. Jiwon tahu bahwa Hyejin telah berubah, bahwa dia bukan lagi wanita yang dulu bisa dia kendalikan. Tetapi Jiwon juga tahu bahwa dia tidak bisa begitu saja menyerah.

Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka membuat mereka berdua berpaling. Minho masuk dengan cepat, napasnya tersengal. “Hyejin! Kita harus pergi sekarang! Mereka sedang datang!”

Hyejin berbalik ke arah Jiwon, matanya penuh dengan kepanikan. “Jiwon, apa yang kamu lakukan?” tanyanya, meskipun dalam hati dia tahu jawabannya.

“Aku sudah mempersiapkan semuanya, Hyejin. Aku tahu kamu akan datang malam ini,” jawab Jiwon dingin, wajahnya tak menunjukkan penyesalan.

“Minho, kita tidak punya banyak waktu!” teriak Hyejin, meraih tangan Minho dan bersiap untuk lari.

Namun, sebelum mereka bisa bergerak, Jiwon melangkah ke depan, memblokir jalan mereka. “Kamu tidak akan keluar dari sini begitu mudah, Hyejin. Kita akan menyelesaikan ini, di sini dan sekarang.”

Dalam sekejap, situasi menjadi tegang. Minho mengeluarkan ponselnya, berusaha menghubungi seseorang, tetapi Jiwon meraih pergelangan tangannya dan menjatuhkan ponsel itu ke lantai.

“Kamu tidak mengerti, Jiwon,” kata Hyejin dengan suara bergetar. “Ini bukan tentang kita lagi. Ini tentang menghentikan semua kekerasan, semua kebohongan ini!”

Jiwon tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh dengan kepahitan. “Kamu selalu berusaha menjadi pahlawan, Hyejin. Tapi dunia ini tidak membutuhkan pahlawan. Dunia ini membutuhkan orang-orang yang bisa bertahan, apapun caranya.”

Mendadak, terdengar suara sirene dari luar gedung. Polisi datang, dan Jiwon tahu bahwa waktunya hampir habis. Dia menatap Hyejin dengan intensitas yang menakutkan, seolah-olah sedang mempertimbangkan langkah terakhir yang bisa dia ambil.

“Ini sudah berakhir, Jiwon,” kata Hyejin, suaranya lebih lembut. “Kita tidak bisa terus hidup seperti ini.”

Jiwon menunduk, sejenak tampak menyerah. Namun, ketika dia mengangkat kepala, matanya bersinar dengan keputusan yang mengerikan. “Jika aku tidak bisa memiliki dunia ini, tidak ada yang bisa.”

Dengan gerakan cepat, Jiwon mencapai tombol di bawah mejanya, dan dalam hitungan detik, alarm darurat berbunyi di seluruh gedung.

“Hyejin, lari!” teriak Minho, menarik Hyejin keluar dari ruang kerja.

Mereka berlari secepat mungkin, melewati lorong-lorong yang kini dipenuhi dengan bunyi sirene dan lampu merah yang berkedip-kedip. Namun, mereka tahu bahwa waktu mereka hampir habis.

Akhirnya, mereka sampai di pintu keluar darurat, dan dengan dorongan terakhir, mereka berhasil keluar ke jalan. Di belakang mereka, gedung perusahaan Jiwon mulai dipenuhi dengan suara kaca pecah dan bunyi ledakan kecil.

Hyejin menatap gedung yang kini menjadi simbol dari semua penderitaan yang telah dia lalui, dan dia merasa kosong, seolah-olah segalanya telah berakhir tetapi dengan cara yang tak terduga.

Di tengah kekacauan itu, Jiwon muncul di pintu gedung, berdiri sendirian di antara reruntuhan. Hyejin bisa melihatnya dari kejauhan, dan untuk sesaat, mereka saling menatap, dua jiwa yang hancur oleh kekuasaan dan ambisi.

“Aku akan menemukanmu lagi, Hyejin,” teriak Jiwon, suaranya penuh dengan keputusasaan dan dendam yang tak tertahankan. “Ini belum berakhir!”

Tapi Hyejin hanya bisa menatapnya dengan kesedihan yang mendalam, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan semua yang pernah dia kenal.

Malam itu, baik Hyejin maupun Jiwon menyadari bahwa mereka telah membayar harga yang tak terduga—harga dari kebebasan yang diperoleh dengan darah, air mata, dan kehancuran.

Twisted HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang