Bab 27: The Abyss

37 1 0
                                    

Hyejin menatap papan strategi yang dulunya penuh dengan rencana matang dan keyakinan. Kini, itu hanyalah simbol dari kegagalan dan kebingungan. Setiap langkah yang dia ambil untuk menjatuhkan Jiwon terasa semakin menjauh dari tujuannya. Rencana yang dulu tampak sempurna kini terurai, sedikit demi sedikit.

Ponselnya berdering, pesan masuk dari salah satu sekutunya, Minho. “Kita harus bicara,” tulisnya, singkat tapi jelas. Hyejin merasakan sesuatu yang tidak beres, tetapi dia tidak punya pilihan selain menemui Minho di kafe yang telah mereka sepakati.

Ketika Hyejin tiba, Minho sudah duduk di sudut yang terpencil, wajahnya tampak cemas. "Hyejin... ada sesuatu yang harus kamu ketahui," katanya pelan, nyaris berbisik.

"Apa itu?" Hyejin bertanya, mencoba tetap tenang meski hatinya berdegup kencang.

"Jiwon... Dia berhasil mencapai beberapa orang di antara kita. Mereka... mereka telah dibeli," Minho mengaku dengan suara penuh rasa bersalah.

Wajah Hyejin memucat. "Apa maksudmu?" suaranya terdengar lebih tajam dari yang dia inginkan.

"Mereka menyerah... demi uang, atau mungkin mereka takut padanya. Aku... aku sendiri hampir tergoda, tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku setia padamu, Hyejin, tapi kita tidak bisa mempercayai siapa pun sekarang."

Hyejin terdiam, merasa seluruh dunianya mulai runtuh. Semua yang dia bangun, semua rencana yang dia buat, perlahan-lahan hancur. Dan yang terburuk, sekutu-sekutu yang seharusnya dia andalkan telah berkhianat.

***

Malam itu, Hyejin duduk di apartemennya yang sunyi, hanya diterangi oleh lampu meja kecil di sampingnya. Pikirannya penuh dengan pengkhianatan dan intrik. Tidak ada yang bisa dia percayai lagi. Satu-satunya orang yang masih berdiri di sisinya adalah Minho, dan bahkan dia merasa hubungan mereka semakin tegang.

Di ponselnya, sebuah pesan muncul. Nomor tidak dikenal. Dengan hati-hati, Hyejin membuka pesan itu.

"Aku tahu kamu berjuang keras. Tapi, bukankah sudah waktunya kamu menyerah?"

Hyejin merasa darahnya mendidih. Itu pasti dari Jiwon. Dia bisa merasakan manipulasinya dari setiap kata yang ditulis.

Lalu, sebuah gambar terkirim. Gambar itu menunjukkan sekutu-sekutu yang kini berpihak pada Jiwon, duduk bersama di sebuah ruangan yang dikenalnya—ruang rapat perusahaan.

Mereka tampak nyaman, tertawa bersama, seolah semua rencana dan janji yang pernah mereka buat dengan Hyejin tak ada artinya. Hyejin merasa pengkhianatan itu begitu menusuk, meninggalkan rasa pahit yang menyesakkan dadanya.

Dia memandang keluar jendela, merasakan dinginnya malam yang seakan mencerminkan kekosongan dalam dirinya. Setiap jalan keluar tampak tertutup, setiap sekutu telah menjadi musuh.

***

Beberapa hari kemudian, Hyejin menerima undangan untuk bertemu Jiwon di sebuah restoran mewah di pusat kota. Dia tahu ini adalah perangkap, tapi apa pilihan yang dia miliki? Dengan perasaan campur aduk, dia memutuskan untuk pergi.

Ketika dia tiba, Jiwon sudah menunggunya, duduk di meja yang terletak di sudut yang tenang. Wajahnya tenang, penuh dengan senyum yang terasa penuh arti. Hyejin duduk di depannya, menatap mata pria yang telah menjadi pusat kehidupannya—baik dalam cinta maupun kebencian.

"Kau terlihat lelah, Hyejin," Jiwon membuka percakapan dengan nada lembut, seolah tidak ada yang salah di antara mereka.

"Apa maumu, Jiwon?" Hyejin bertanya langsung, suaranya dingin namun bergetar.

Jiwon menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku sudah melihat apa yang kamu lakukan. Kamu hampir berhasil menjatuhkanku. Tapi, kita sama-sama tahu bahwa ini tidak akan pernah berakhir baik, bukan?"

"Apa yang kamu inginkan?" Hyejin mengulangi, merasa sabarannya mulai habis.

Jiwon mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap mata Hyejin dengan intensitas yang mengingatkan pada masa-masa awal mereka bersama. "Aku menawarkan dua pilihan, Hyejin. Kita bisa berdamai. Kamu kembali padaku, dan kita mulai dari awal. Lupakan semua yang terjadi. Kita hidup dalam kebohongan yang indah. Atau…"

Hyejin menahan napas, menunggu kata-kata berikutnya.

"Kita bisa terus menghancurkan satu sama lain. Tapi, kamu tahu bahwa aku tidak akan menyerah sampai salah satu dari kita benar-benar hancur."

Kata-kata itu menggema di pikiran Hyejin. Tawaran itu tampak menggiurkan, terutama ketika dia merasa begitu lelah dengan semua ini. Tapi pada saat yang sama, dia tahu bahwa hidup dalam kebohongan bersama Jiwon hanyalah penundaan dari penderitaan yang tak terelakkan.

Dia menatap Jiwon, mencoba mencari jawaban di matanya. Tapi yang dia lihat hanyalah kehampaan. Jiwon sudah terjerat dalam permainan ini begitu dalam, dan dia tahu bahwa jalan untuk keluar tidak akan pernah mudah.

"Kamu pikir aku akan menyerah?" Hyejin akhirnya berbicara, suaranya gemetar tapi tegas. "Aku lebih baik menghancurkan kita berdua daripada hidup dalam kebohongan bersamamu."

Jiwon tersenyum tipis, seolah mengharapkan jawaban itu. "Baiklah, Hyejin. Mari kita lihat siapa yang akan bertahan."

Twisted HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang