Myanna mengomel panjang sekali sewaktu mendapati ban mobilnya bocor. Hari ini dia harus ke Jakarta, besok ada presentasi kecil untuk dummy-edisi pra-cetak, dari majalah remaja yang telah setahun belakangan memintanya untuk terlibat sebagai salah satu editor. Dia ingin tahu seperti apa proses penerbitan sebuah majalah sungguhan.
Sebetulnya Myanna sudah berulangkali menolak sampai pernah berkata dirinya kurang kompeten untuk posisi itu pada sang Pemilik. Sayangnya, mereka tetap bersikeras memintanya bergabung semenjak Daud-yang terlalu bersemangat, menceritakan semua kisah tentang karyanya bak seorang seniman besar yang sedang melalui tahap tersulitnya.
Myanna menendang ban mobilnya kesal. Mendadak dia tersadar, ini semua gara-gara Daud. Pasti. Sudah tentu. Dan memang sudah sewajarnya dia marah-marah begini. Selalu Daud dan Daud!
Myanna menghela nafas panjang setelah kelelahan sendiri menendangi ban mobilnya. Dirinya bukan perempuan sok gengsi tak bersedia mengganti ban mobil sendiri, meski tentunya bantuan siapapun di tengah siang terik selepas rest-area 57 Cipularang tak akan ditolaknya. Masalahnya, ban mobil cadangannya tertinggal di garasi. Apa gunanya tangkai dongkrak di tangan tanpa ban cadangan? Bodohnya dia yang terlalu bersemangat sudah melepas bannya yang bocor. Pekerjaan yang percuma. Akhirnya, ia membuka pintu dan duduk di dalamnya, membuka daftar kontak di telepon guna mencari seseorang yang bisa diharapkan. Tak butuh waktu lama untuknya melempar telepon ke jok belakang. Semua temannya sedang bekerja. Rekan kerjanya hanya Jürgen. Anak buahnya di toko terlampau malang untuk diganggu urusan kecil begini. Para sahabat sudah menyebar bak spora ke negeri antah berantah. Tinggal Daud dan Mariyanah yang terlampau jet-set untuk bisa langsung menerima telepon.
Dan Myanna malas menelepon Daud. Orang itu akan berlebihan jika ia minta tolong. Jadi menunggu petugas Patroli Tol lewat menjadi pilihan Myanna. Ia kembali keluar, berniat memasukkan ban bocornya sewaktu sebuah Evoque hitam menepi. Dia memicing kala pengemudinya turun. Seorang lelaki berpakaian formal namun tetap memberi kesan urakan. Cukup tinggi namun tidak ada kesan masif dari sosoknya yang kokoh. Saat lelaki itu makin dekat, Myanna terdiam, mencoba memutar otaknya. Wajah orang ini sering ia lihat tapi dia tak pernah tahu namanya.
"Hei. Kenapa?"sapanya tersenyum lalu mengamati mobil Myanna.
Myanna tersenyum sekedarnya, "Lagi sial. Ban bocor."
Lelaki itu menoleh cepat dan memandangnya, "Kamunya enggak apa-apa?"
Myanna tersenyum, "Syukurnya baik-baik aja."
Dia mengangguk, "Baguslah."
Myanna masih mencoba membongkar isi kepalanya, siapa tahu dia bisa ingat nama orang ini.
"Daud tahu?"
Myanna menoleh dan memandang lelaki itu. Ya. Dia itu salah seorang teman Daud. Teman yang sering bersama Daud saat akhir pekan. Dia pernah beberapa kali bergabung dengan Myanna dan Daud di beberapa acara resmi.
"Tidak."ujar Myanna.
Lelaki itu menatap Myanna sejenak, "Kamu enggak inget aku ya?"
Myanna tersenyum kaku penuh rasa bersalah, "Maaf."
"Emyrrumi Malik."
Myanna mengulurkan tangan menjabat tangan lelaki tersebut yang terulur. Matanya terpaku pada tattoo di pergelangan tangannya. Motif tribal Scandinavia dalam lingkaran sebesar keping uang logam kuno. Tattoo yang indah.
"Panggil aku Rumi, Mia."
Myanna tersadar, memandang Rumi yang sedang tersenyum hangat memandangnya. Ada lesung yang terbentuk di salah satu pipinya. Myanna terkejut Rumi menyapanya seperti itu. Hanya para sahabat yang memanggilnya begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Affair of Me
RomanceIni untuk [21+] hanya kisah biasa tentang lelaki di puncak dan orang-orang sekitarnya.