Bab 17: Hari Itu

6.7K 449 22
                                    



#throw-back



Bandung Tengah. Satu pagi berkabut tipis di bulan Juli 2004.

Ini baru pukul 05.45, tapi tampang senior sudah seperti serigala lapar memandangi siswa siswi baru. Hari pertama MOS untuk Grand Royal High yang tidak berjadwal sama dengan sekolah lainnya. Satu minggu lebih cepat. Artinya, sementara anak-anak sekolah lain masih menikmati minggu terakhir liburan, anak baru Grand Royal High sudah harus berlarian tunggang langgang dengan seragam episcopal mereka yang diam-diam mengundang iri.

Kompleks sekolah mereka yang berada di tengah memang strategis. Entah dari mana datangnya kreatifitas itu; siswa siswi baru terkena zona radius sejauh 500 meter dari bangunan sekolah. Dalihnya agar tidak menimbulkan kemacetan di ruas jalan umum karena sudah menjadi rahasia umum kalau anak baru selalu diantar orangtua yang khawatir berlebihan. Tapi tentu saja para siswa baru yakin ini cuma akal-akalan kakak kelas. Untungnya mereka tidak diharuskan memakai kostum bak orang gila. Malahan diwajibkan serapi dan sewangi mungkin. Hanya saja tugas-tugas kecil yang diembankan cukup bikin pusing. Kakak kelas kreatif mungkin berharap adik kelas lebih kreatif lagi. Jadi potret seukuran 1.5 R untuk ID Card tidak bisa didebat sama sekali. Bisa dibayangkan juga saat sepatu hitam yang diperkenankan memiliki spesifikasi jumlah eyelett 12 buah tanpa gambar bintang. Siswa lelaki serempak mendengus sebal. Tapi yang paling menyebalkan adalah keharusan membuat esai 600 kata tentang Grand Royal High yang hanya boleh dikirim lewat e-mail di antara pukul 19.00 - 19.27 semalam. Heck, akal-akalan yang sungguh kentara tapi tak bisa ditentang. Sekarang sudah berlalu lima menit, dan beberapa anak mulai lari tunggang langgang sebab MOS dimulai pukul enam.

Kecuali seorang anak lelaki dengan rambut coklat yang acak-acakan. Dia malah berdiri bersandar pada tiang telepon sisi jalan tepat pada batas radius. Seorang kakak kelas mengamati tajam tapi dia tidak gentar. Tangannya menimang minuman botol berwarna biru. Dia kelihatan berpikir. Seharian kemarin dia disibukkan oleh tugas-tugas konyol untuk hari ini akibat terlambat pulang dari liburannya di Aspen. Dia baru tahu kalau harus menyiapkan juga menu makan siang sendiri. Itu hal sederhana saja sebenarnya, tinggal menyuruh pembantu. Andaikan tidak ada syarat lanjutan. Tiap kelas diwajibkan membawa jenis minuman yang berbeda. Kelasnya kebagian Gatorade Merah. Nyaris tengah malam ia meluncur ke Setiabudhi dan kesal saat mendapati kenyataan stok Gatorade Merah habis dan hanya tersisa yang biru. Dia membeli satu sambil berharap mungkin toko di Dago masih buka.

Dia sial. Toko di Dago juga kehabisan stok merah. Maka kini ia membawa Gatorade Biru dan menimang-nimang harus melakukan apa agar tidak usah berurusan dengan senior. Dia menoleh kiri kanan. Teman-temannya sesama siswa baru mulai berlarian cepat. Tidak ada lagi yang berjalan santai lalu matanya berhenti pada sosok seorang gadis. Gadis ini tampak mengantuk dan membawa begitu banyak kertas seukuran A3. Dasinya tidak terikat dan ia mengomel tak kentara pada kakak kelas yang menahan senyumnya di seberang sana.

Membuat si Bocah Lelaki yang bersandar pada tiang tersenyum tipis, terutama saat mendapati botol Gatorade Merah muncul dari sela tas jinjingnya.

"Hei."

Gadis itu berhenti dan mendongak memandangnya.

"Aku Daud."

Gadis itu memicing sekarang, melirik pada botol minuman di tangan Daud, "Oh, halo. Aku Myanna. Kita sekelas?"

Bocah Lelaki itu mengerutkan kening, "Apa?"

Myanna menyipit, "Moron. You bring that blue thing. So, yeah, I supposed we're in the same class."serunya sinis.

Daud membeliak, "What?! Kamu yang moron! Bisa-bisanya nganggep aku sekelas sama kamu cuma gara-gara bawa this thing?"katanya balik berseru sambil menggoyangkan botol di tangannya.

Affair of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang