BAB 1: Teman Baik

67K 1.7K 36
                                    



Suara dering telepon tak juga kunjung berhenti, nyaring menusuk telinga Daud yang baru tertidur tidak lebih dari tiga jam. Atau mungkin dua jam? Seingatnya suara lirih adzan baru mulai berkumandang sewaktu dia memasuki rumah. Kepalanya sedikit pening, jelas akibat kurang tidur. Dering telepon sialan itu mengganggu ketenangan pagi akhir pekan yang seharusnya sejahtera. Dirapatkan bantal pada kedua telinganya tepat saat dering telepon berhenti. Daud mendengus sebal memandang langit-langit dengan mata masih lengket. Siapa yang masih suka memakai telepon PABX di jaman VoIP dan video call merajalela?

Kuno.

Belum selesai Daud berpikir melantur, menetralisir kekesalan atas dering mengganggu yang memutus kantuknya, suara itu kembali. Dering panjang seperti bel masuk kelas saat SMA.

"Miiiaaaaaaa!!! Angkat teleponnya!"

Tak ada sahutan. Bunyi dering telepon itupun masih nyaring terdengar. Daud merutuk kesal sambil bangkit turun dari tempat tidur. Karena sebal bahkan ia nyaris tersandung sandal kamarnya sendiri. Makin kesal Daud, melangkah lebar-lebar sambil mengomel dan sesekali berteriak macam perempuan di ambang PMS, memanggil-manggil Myanna. Saat baru dua langkah menuruni tangga, Daud mendapati Myanna melintasi ruang keluarga menuju sudut di mana telepon rumahnya bertengger, masih dalam keadaan mulus mengkilap berwarna mocca.

Bahkan sudut tersebut berupa meja bulat satu kaki berukir dengan chaisé -kursi satu lengan, berlapis jacquard motif fleur-dê-lyss warna biru-krem. Sudut yang sangat retro dengan penerangan berarmatur kristal botol khas tahun 70an. Sudut yang dilestarikan Myanna untuk mengenang kedua orangtuanya. Sungguh dia anak yang berbakti, tetap mengingat mereka meski telah membuatnya keluar sarang dikarenakan alasan sepele. Myanna menolak dijodohkan saat berusia 22 tahun, tujuh tahun yang lalu tepatnya.

"Siapa sih? Bisa-bisanya dia bikin benda itu berbunyi?"gerutu Daud saat melalui Myanna dalam perjalanan menuju dapur.

Myanna hanya melirik tanpa ekspresi menanggapi ocehan Daud. Dia berbicara serius pada orang di seberang sana, dengan bahasa Jerman. Daud berdecak mendengarnya, segera menduga siapa di seberang sana. Tak lain dan tak bukan pasti lelaki yang kerap Myanna bilang Bos. Si Bule Jerman gila penyuka desain-desain Myanna. Mereka berdua menjalin kerja sama Produser-Desainer dengan kontrak kerja pendahuluan via online, sekali bertatap muka di Singapura untuk mengurus semua legal documents lalu voila! Myanna berkarya sebagai seorang desainer untuknya, tepatnya untuk kliennya. Tak pernah satu kalipun bertatap muka lagi dan semua komunikasi utama dijalin lewat kabel telepon rumah. Sungguh kontradiktif.

Daud semula mentolerirnya sebagai kegilaan orang desain. Dia cukup tahu orang kreatif kerap punya kebiasaan nyleneh, seperti misal Myanna yang merinding stres saat melihat telur kupu-kupu. Atau kebiasaannya menggaruk kaki dengan kaki. Tapi lama kelamaan Daud berpikir si Jerman Gila ini sebetulnya modus. Mana ada seorang Desainer Kepala sebuah atelier seni besar di Singapura selalu membiarkan Desainernya tidak pernah sekalipun presentasi dan kliennya tidak protes? Kalau tidak modus, pasti penipu! Hanya saja karena pembayaran atas setiap desain Myanna sangat besar, nyaris separuh harga kontrak setiap proyek, Daud memilih lebih yakin pada kemungkinan pertama. Modus. Semua tahu suara di saluran telepon konvensional lebih jernih mendekati aslinya. Menyebalkan.

"Danke."

Daud menoleh, Myanna sudah menutup telepon. Sekarang gadis itu berjalan melintasi Daud, menyelinap di antara tubuh menjulang Daud dan pintu refrigerator, mengambil sekotak susu juga sebutir apel kemudian melengos meninggalkan Daud yang berdiri sebal menahan pintu lemari pendingin. Myanna duduk di meja.

Affair of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang