22. Sendirian?

277 42 0
                                    

Boboiboy sedikit kesal karena Beliung tiba-tiba melemparnya ke dimensi lain secara acak agar Boboiboy selamat ketika Voltra menuju ke arah Beliung tadi. Boboiboy menghela napas panjang, sedikit marah tapi tak bisa menolak. Ya sudahlah, pikirnya. Mungkin ini memang takdir. Siapa sangka, aksi penyelamatan Beliung justru membawanya ke petualangan baru di dimensi lain. Siapa tahu ada hal menarik yang menanti di sana.

Cahaya redup menerobos ke jendela bangunan tua yang bobrok. Debu beterbangan ketika Boboiboy menginjakkan kaki di lantai berkarpet lusuh. Bau apek menyengat hidungnya. Dinding-dindingnya penuh coretan dan bekas tembakan, menyiratkan sejarah kelam yang pernah terjadi di tempat ini.

"Ini habis ada perang," gumam Boboiboy, dia bersembunyi di balik tembok ketika melihat pemuda yang wajah dan tubuhnya mirip dengannya.

"Itu pasti aku yang lain dalam dimensi ini," gumam Boboiboy sambil melihat sosok dirinya yang lain.

"Lah itu sepertinya Ice?" Boboiboy bergumam dengan ragu-ragu

Boboiboy melongo tak percaya. Sosok yang mirip dirinya itu, yang seharusnya memiliki kekuatan es, justru terlihat kelaparan dan lihai mencuri makanan. Matanya terus mengikuti sosok 'Ice' itu, yang bergerak lincah di antara reruntuhan bangunan, menghindari para penjaga yang berpatroli.

"Ice, tapi kok jadi pencuri?" gumam Boboiboy lagi, kepalanya penuh tanda tanya. Ia penasaran, apa yang telah terjadi pada Ice di dimensi ini hingga membuatnya berubah seperti itu?

Boboiboy memutuskan untuk mengikuti 'Ice' dari jauh. Ia ingin tahu lebih banyak tentang dunia baru ini, dan tentang sosok misterius yang ternyata adalah dirinya sendiri dalam versi yang berbeda.

Langkah demi langkah, Boboiboy menyusuri lorong-lorong gelap dan sempit. Sesekali, ia harus bersembunyi di balik tumpukan kotak atau di bawah meja untuk menghindari para penjaga. Perjalanan mereka membawa mereka ke sebuah pasar gelap yang ramai. Di sana, 'Ice' dengan lincahnya menyelinap di antara kerumunan, mengambil makanan dari pedagang-pedagang yang lengah.

"Dia sangat berbeda, diriku versi dimensi lain memang aneh-aneh."

Saat 'Ice' berhasil mendapatkan beberapa potong roti dan sepotong daging, ia langsung berlari menuju sebuah sudut yang tersembunyi. Di sana, ia duduk di atas tumpukan kardus dan mulai melahap makanannya dengan rakus.

Boboiboy terus mengamati dari kejauhan, hatinya bercampur aduk antara rasa penasaran dan iba. Ia melihat bagaimana 'Ice' yang seharusnya memiliki kekuatan es, harus hidup susah di dunia yang keras ini. 'Ice' tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun, seolah-olah ia telah kehilangan kemampuan untuk berbicara atau memang memilih untuk diam.

Hari demi hari, Boboiboy mulai memahami kehidupan 'Ice'. Ia mengetahui bahwa 'Ice' hidup sebatang kara, tanpa keluarga dan teman. Ia juga mengetahui bahwa 'Ice' memiliki luka di masa lalu yang membuatnya menjadi seperti sekarang. Boboiboy merasa kasihan pada 'Ice', tetapi ia juga takut untuk mendekat. Ia khawatir jika 'Ice' akan menolak kehadirannya atau bahkan menganggapnya sebagai ancaman.

Boboiboy terus mengamati 'Ice' dari kejauhan, hatinya bergetar melihat sosok yang begitu mirip dengannya hidup dalam kesengsaraan. Ia ingin sekali mendekati 'Ice', mengajaknya bicara, dan menawarkan bantuan. Namun, rasa takut dan ragu menghantuinya.

"Aku harus melakukan sesuatu," gumam Boboiboy dalam hati. Ia tidak bisa membiarkan 'Ice' terus hidup seperti ini.

Suatu malam, ketika 'Ice' sedang tidur di sudut pasar yang biasanya, Boboiboy memberanikan diri untuk mendekat. Dengan hati-hati, ia duduk di samping 'Ice' dan mengulurkan tangannya. Ia ingin menyentuh bahu 'Ice'. Namun, tangannya tiba-tiba berhenti di udara.

"Apa yang harus kukatakan?" Boboiboy bertanya pada diri sendiri.

Boboiboy menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya. Ia tahu, ini adalah kesempatannya untuk membantu 'Ice'. Namun, kata-kata yang tepat seakan tak kunjung keluar dari mulutnya.

"Ice ...," gumam Boboiboy pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap wajah 'Ice' yang tenang dalam tidur. Meskipun 'Ice' tak bisa mendengarnya, Boboiboy merasa perlu untuk berbicara. "Aku tahu kau kesepian juga butuh bantuan. Aku di sini untukmu."

Boboiboy mengulurkan tangannya sekali lagi, kali ini dengan lebih perlahan. Jari-jarinya menyentuh bahu 'Ice' dengan lembut. 'Ice' tidak bergerak, tetap tertidur nyenyak. Boboiboy tersenyum tipis. Ia tahu, perjalanannya untuk mendekati 'Ice' masih panjang.

"Besok, akan kucoba lagi," bisik Boboiboy. Ia bangkit dari duduknya dan perlahan menjauh dari 'Ice'.

Malam itu, Boboiboy kembali ke tempat persembunyiannya. Pikirannya berkecamuk memikirkan nasib 'Ice'. Ia terbayang bagaimana 'Ice' harus berjuang bertahan hidup di dunia yang keras ini, seorang diri tanpa siapapun yang bisa diandalkan. Boboiboy merasa iba dan bersalah. Andai saja ia bisa melakukan sesuatu yang lebih untuk membantu 'Ice'.

Hari-hari berikutnya, Boboiboy terus mengamati 'Ice' dari kejauhan. Ia menyaksikan bagaimana 'Ice' berjuang mencari makanan, menghindari para penjaga, dan menghadapi berbagai macam bahaya. Boboiboy melihat seberapa kuatnya 'Ice' meskipun terlihat begitu rapuh.

Suatu malam, Boboiboy melihat 'Ice' terluka. Ada luka goresan panjang di lengannya. 'Ice' mencoba untuk mengobatinya sendiri dengan kain compang-camping, namun terlihat kesulitan. Hati Boboiboy semakin hancur melihat penderitaan 'Ice'. Ia ingin sekali mendekati 'Ice' dan membantunya, namun rasa takutnya masih menghalanginya.

"Aku tidak bisa terus seperti ini," gumam Boboiboy. Ia harus melakukan sesuatu, apapun itu.

'Ice' menyadari bahwa ada orang yang wajahnya mirip dengannya selalu melihatnya dari jauh, tetapi 'Ice' pura-pura tidak tahu. Ice membiarkan Boboiboy selalu mengawasinya, bagi 'Ice' itu sudah cukup, dia tak terlalu merasa kesepian karena Boboiboy selalu mengawasinya.

Bersambung.

Lanjut?

Mendadak pendek chapternya

Boboiboy di dunia lain (Boboiboy Fanfiksi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang