15. Gempa, Ice, Solar dan Blaze.

978 115 12
                                    

Di suatu tempat, terlihat remaja laki-laki yang sedang menghadapi musuh yang melepaskan tembakan pada penduduk sekitar. Desa tentara bayaran tempat dia tinggal diserang dengan kejam.

“Gawat,” gumam remaja itu, pupil matanya yang berwarna emas itu bergerak melihat para penduduk yang tewas di depannya.

“Gempa, ayo mundur!” teriakan dari rekannya tidak dia jawab.

Gempa gemetar dan semakin mundur sambil menghindari tembakan yang diarahkan padanya. “Aku tidak bisa menyelamatkan mereka,” gumamnya lagi.

Gempa mengusap air matanya yang mengalir. Menyalahkan diri sendiri karena penduduk di desa itu banyak yang tewas.

“Gempa, kau mau kemana?” tanya rekannya ketika Gempa berlari ke arah yang berlawanan dengannya.

“Ayo pergi dari sini!” Gempa menarik anak kecil yang meringkuk ketakutan di ujung gang kecil.

Anak kecil itu mengangguk, dia berlari di depan Gempa. Sambil melindungi anak itu agar bisa sampai ke rekan seperjuangannya.

Suara tembakan yang keras membuat telinga berdengung. Gempa jatuh tersungkur karena kakinya terkena tembakan.

“Gempa!”

“Kalian pergilah duluan,” kata Gempa, dia merintih merasakan rasa sakit pada kakinya.

Terpaksa Gempa ditinggalkan sendirian di sana. Remaja itu tersenyum saat rekannya sudah menaiki kendaraan lalu pergi menjauh dari sana.

Gempa memaksakan dirinya bergerak lalu sembunyi di balik tembok yang sudah hancur separuh.

Degup jantung Gempa semakin cepat, dia masih membawa senapan di tangannya.

Gempa menunduk pasrah ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. “Tidak ada lagi yang bisa ku lakukan,” gumamnya.

“Bangunlah! Aku tidak mau menggendongmu,” kata seseorang dengan nada datar.

Gempa mendongak, suara itu, suara yang sama dengannya. Wajah, tinggi badan, rambut, semuanya sama. Dia menatap mata orang itu.

“Kamu Ice?” tanyanya dengan suara bergetar, akhirnya dia bertemu dengan salah satu kembarannya.

Ice hanya menatapnya dengan tatapan dingin, dia membawa senjata yang bisa menembakkan anak panah dengan otomatis. Senjata yang keren menurut penglihatan Gempa.

“Cepatlah! Apa kau ingin tewas di sini?” tanya Ice, dia tidak peduli dengan ekspresi Gempa yang sepertinya merindukannya.

Gempa berdiri dengan susah payah, dia mengikuti langkah kaki kembarannya. Ice melewati mayat para penjajah yang tubuhnya tertancap anak panah tepat di dadanya.

“Senjata ini bisa menembakkan dua anak panah sekaligus, dan bisa dipegang dengan satu tangan saja. Ini senjata yang praktis,” kata Ice dengan nada datar, dia menjelaskan itu karena Gempa terlihat penasaran.

Gempa berjalan dengan kakinya yang luka sebelah, dia harus menahan rasa sakit itu.

“Masuklah!” Ice membuka pintu kendaraan yang dia bawa.

Gempa segera masuk ke dalam sana, Ice melirik darah yang menetes dari kaki kembarannya.

“Merepotkan,” gumam Ice.

Ice segera membawa kendaraannya menjauh dari desa itu. Perlahan, kesadaran Gempa menghilang.

Gempa tersadar di kursi belakang kendaraan. Dia melihat ke sekelilingnya dan menyadari bahwa dia berada di dalam truk. Di sebelahnya, Ice duduk dengan tatapan dingin dan tangannya menggenggam kemudi dengan erat.

Boboiboy di dunia lain (Boboiboy Fanfiksi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang