D.6 Titik Terang Penyakit Sang Prabu

579 85 0
                                    

Matahari baru saja terbit, sinar pagi yang lembut masuk melalui celah-celah jendela di kamar Adel. Kamar tersebut dipenuhi dengan aroma bunga segar yang datang dari taman di luar. Adel baru saja membersihkan diri dibantu oleh Siti dan kini ia duduk di tepi ranjang. Pikirannya masih terjebak dalam kerumitan perasaannya dan bagaimana harus menanggapi situasi yang dia hadapi.

Di luar kamar, Raden Arya berdiri di depan pintu dengan wajah yang cemas. Dia telah memikirkan banyak hal sepanjang malam, terutama tentang interaksinya dengan Adel yang semakin menjauh. Rasa bersalahnya semakin mendalam setiap kali dia memikirkan bagaimana perasaannya mungkin telah menambah beban pada Adel. Dia tidak ingin membuat Adel merasa tertekan atau cemburu, tapi entah mengapa sikapnya justru menambah jarak di antara mereka.

Dengan langkah hati-hati, Raden Arya mengetuk pintu kamar Adel. Ketukan lembut itu segera disambut oleh Adel yang memandang ke arah pintu. "Masuk," katanya dengan suara pelan, agak bingung dengan kedatangan Raden Arya di pagi hari.

Raden Arya membuka pintu dan melangkah masuk dengan hati-hati, mencoba tersenyum meskipun perasaannya yang sebenarnya bergejolak di dalam dirinya. "Selamat pagi, Adel," sapanya lembut, berdiri di dekat jendela dengan sedikit jarak dari ranjang. "Bagaimana kabarmu pagi ini?"

Adel menatapnya dengan tatapan lembut namun penuh kebingungan. "Pagi, Raden Arya. Saya baik-baik saja," jawabnya sambil duduk tegak di ranjang. "Ada yang bisa saya bantu?"

Raden Arya merasa hatinya teriris oleh kata-kata Adel yang terasa dingin dan menjaga jarak. Dia melangkah mendekat, namun tetap menjaga jarak fisik, berharap bisa mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih lanjut. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kau merasa baik-baik saja. Aku... Aku merasa sangat bersalah tentang kejadian kemarin," katanya dengan nada penuh penyesalan.

Adel mengerutkan kening, masih tidak sepenuhnya memahami alasan di balik sikap Raden Arya. "Sungguh tidak perlu merasa bersalah, Raden Arya. Kejadian kemarin bukan salah Raden," jawabnya dengan nada tenang, namun ada sedikit jarak dalam suaranya.

Raden Arya merasa semakin tertekan. Dia mengangkat tangannya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya, tetapi rasanya semuanya tidak tepat. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kau merasa nyaman."

"Terimakasih atas perhatian yang diberikan Raden, namun saat ini saya merasa sangat nyaman Raden jadi Raden tidak perlu berlebihan memikirkan bagaimana perasaan saya." jawab Adel sembari tersu mengamati gerak-gerik Raden Arya.

Raden Arya mengangguk, merasa sakit hati melihat sikap Adel yang semakin menjauh. "Aku menghormati keputusanmu. Jika kau membutuhkan sesuatu atau ingin berbicara, aku akan selalu ada di sini untukmu," ucapnya dengan nada penuh keikhlasan.

Dia berbalik dan melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Adel yang masih duduk di ranjang, dengan pikiran yang semakin kabur. Raden Arya menutup pintu perlahan di belakangnya, merasakan beban emosional yang berat di hatinya. Dia tahu dia harus memperbaiki hubungan ini, tetapi dia juga harus memberi Adel ruang yang dibutuhkan.

Sementara itu, Adel tetap duduk di ranjang, mencoba memahami situasi yang ada. Jangan-jangan apa yang ia pikirkan semalam benar-benar terjadi. Adel menatap Yin yang tengah emmakan semangka sembari berbaring diatas tempat tidur.

"Yin, apa mungkin gue bisa tau tingkat kesukaan seseorang di dalam novel?" tanya Adel pada Yin yang kini menoleh padanya.

"Tentu saja nona, jika nona menginginkannya." jawab Yin.

Adel menghela nafas pelan lalu mengangguk, kalau begitu dia akan mengeceknya pada Raden Arya nanti. Semoga saja apa yang dia takutkan tidak benar-benar terjadi. Tiba-tiba, suara ketukan lembut terdengar di jendela kamar, mengganggu keheningan pagi itu.

QUEEN OF TRANSMIGRATIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang