D.9 MULAI MENUNJUKKAN TARING

736 96 18
                                    

Sore itu, langit sedikit mendung, menebarkan nuansa kelabu yang menyelimuti halaman istana. Udara terasa sejuk, tetapi tidak ada tanda-tanda hujan yang akan segera turun. Kondisi kerajaan sudah kembali tenang setelah masa-masa penuh ketegangan berlalu, dan kesehatan Sang Prabu mulai membaik berkat ramuan yang ditemukan oleh Tabib Han dan Adel.

Di tengah halaman istana yang luas, terdapat meja panjang yang dipenuhi dengan berbagai tumbuhan herbal dan peralatan tradisional. Di sana, Adel dan Siti sedang sibuk mencampur beberapa bahan untuk membuat ramuan. Adel, dengan tenang namun penuh fokus, menggiling daun-daunan kering dengan lesung kayu. Sementara itu, Siti, pelayan setianya, membantunya menyiapkan bahan-bahan lain yang dibutuhkan.

"Saya tidak percaya akhirnya kita bisa membuat ramuan ini dengan tenang," ujar Siti sambil tersenyum, menyerahkan seikat daun ginkgo biloba pada Adel. "Selama beberapa minggu ini, semuanya terasa lebih baik, dan kesehatan Sang Prabu juga sudah berangsur pulih."

Adel mengangguk sambil tersenyum. "Ya, rasanya lega sekali. Semuanya sudah jauh lebih tenang sekarang. Bahkan Raden Arya akhirnya mengizinkanku tidak selalu ditemani oleh dua kesatria lagi." Adel tertawa kecil saat mengatakan hal itu, merasa sedikit bebas setelah berbulan-bulan selalu dijaga ketat.

"Sepertinya, Nona berhasil meyakinkan Raden Arya," kata Siti sambil merapikan rempah-rempah di meja.

"Ya, walaupun sempat sulit," jawab Adel sambil melanjutkan pekerjaannya. "Tapi kupikir selama aku berada di dalam istana, aku akan baik-baik saja. Tidak ada serangan yang terjadi lagi, dan Sang Prabu juga hampir sembuh."

Siti tertawa pelan. "Kurasa, Nona adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Raden Arya begitu khawatir tapi juga memberi izin untuk sedikit kebebasan."

Siti lalu menaikkan sebelah alisnya melihat raut wajah Adel perlahan berubah, Siti berfikir kenapa mood nonanya itu bisa berubah secepat kilat hanya dalam hitungan beberapa detik saja. Lihatlah wajahnya yang tidak bersahabat mirip beberapa pelayan yang disuruh mencuci baju di tepi sungai dengan cucian seperti gunung. 

"Apa yang sedang nona pikirkan?" tanya Siti.

Adel menghela nafas dalam-dalam, dia menatap Siti dengan wajah cemas. "Sit, hidupku akhir-akhir ini sangat damai kan?" tanya Adel dan Siti mengangguk dengan cepat.

"Bukannya itu bagus?" tanya Siti dengan wajah kebingungan, seharusnya kan Nonanya ini berjingkrak-jingkrak gembira setelah tidak ada lagi masalah yang datang.

Adel memejamkan matanya sejenak lalu menepuk pundak Siti. "Siti, ada pepatah lama yang bilang, 'Kalau hidup terlalu damai, berarti badai yang sedang bersembunyi di balik pohon,'" ucapnya serius, matanya menatap lurus ke depan.

Siti terdiam sejenak, mencoba mencerna maksud pepatah tersebut, lalu tertawa. "Badai yang bersembunyi di balik pohon? Sepertinya pepatah itu buatan nona sendiri deh, Non!"

Adel tertawa juga, mengangkat bahunya. "Ya, setidaknya kalau badainya tertangkap sedang bersembunyi, aku bisa minta dia sekalian nyiram tanaman, biar tidak ada yang sia-sia."

Tawa kecil mereka sempat mencairkan suasana di tengah pagi yang tenang itu. Namun, tiba-tiba suara angin yang menderu tajam membelah udara, disertai bunyi thunk yang keras—sebuah panah menancap tepat di tanah, hanya beberapa inci di depan kaki Adel.

Mata Adel dan Siti langsung membulat, saling berpandangan dengan ekspresi terkejut. Jantung mereka berdebar kencang. Tak perlu kata-kata, Siti dengan cepat meraih lengan Adel dan, tanpa berpikir panjang, menariknya ke belakang pohon besar terdekat.

"Non, tenang! Jangan bergerak dulu!" bisik Siti dengan napas tertahan, matanya terus waspada, mencari sumber ancaman. Adel berusaha menenangkan napasnya, berusaha memproses apa yang baru saja terjadi.

QUEEN OF TRANSMIGRATIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang