D.5 CIEE SALAH PAHAM

727 99 3
                                    

Sudah beberapa hari berlalu sejak Adel terbangun dari pingsannya yang panjang. Kondisinya berangsur membaik, namun rasa jenuh mulai menghantui pikirannya. Dinding-dinding istana yang megah dan ruangan-ruangan yang dulu terasa begitu nyaman kini seolah menjadi penjara baginya. Setiap hari, ia hanya bisa melihat dunia luar dari balik jendela kamarnya, merindukan kebebasan yang pernah ia rasakan.

Raden Arya, yang kebetulan lewat di depan kamar Adel, melihat gadis itu duduk di dekat jendela dengan pandangan kosong. Wajahnya tampak murung, bibirnya tak lagi memancarkan senyum ceria yang biasa ia tunjukkan. Hati Raden Arya terasa berat melihatnya begitu tertekan, dan ia tahu bahwa Adel butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya dari segala kekhawatiran dan rasa bosan yang menguasai.

"Adel," panggil Raden Arya dengan lembut sambil mendekat ke arah jendela. "Apa yang sedang kau pikirkan?"

Adel menoleh, mencoba tersenyum meski terlihat jelas bahwa ia berusaha menyembunyikan kesedihannya. "Aku hanya... merindukan udara segar di luar sana, Raden," jawabnya pelan. "Rasanya sudah terlalu lama aku terkurung di sini."

Raden Arya terdiam sejenak, memikirkan bagaimana cara agar bisa membuat Adel kembali tersenyum. "Bagaimana kalau kita pergi ke pasar hari ini?" tawarnya. "Hanya sebentar, tentu saja, dan dengan penjagaan yang ketat. Kau bisa melihat-lihat dan menikmati suasana di luar istana."

Wajah Adel seketika cerah, matanya berbinar penuh harapan. "Benarkah, Raden? Terima kasih!" serunya penuh semangat, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

Raden Arya tersenyum lembut, merasa lega bisa membuat Adel bahagia meski hanya dengan hal sederhana. Ia segera mempersiapkan perjalanan mereka dengan pengamanan ekstra, memastikan segala sesuatunya aman sebelum mereka meninggalkan istana.

Tak lama kemudian, rombongan kecil yang terdiri dari Raden Arya, Adel, Ratna, Siti, dan Sangga berangkat menuju pasar. Meski sadar akan risiko yang ada, Raden Arya tetap yakin bahwa sedikit kebebasan ini penting bagi Adel.

Sesampainya di pasar, suasana yang meriah dan ramai langsung menyambut mereka. Para pedagang berseru menawarkan dagangan mereka, aroma rempah-rempah dan makanan memenuhi udara, sementara warna-warni kain yang dijual di berbagai kios menambah semarak pemandangan. Adel yang jarang sekali melihat pemandangan seperti ini sejak berada di dalam istana tampak sangat antusias, matanya tak bisa berhenti bergerak, menangkap setiap detail yang ada di sekelilingnya.

Ratna, yang mengikuti di belakang Raden Arya dan Adel, memperhatikan interaksi mereka dengan hati yang bercampur aduk. Sejak pertama kali bertemu dengan Raden Arya, ia sudah menyimpan perasaan khusus terhadapnya. Rasa kagum berubah menjadi cinta, namun ia sadar posisinya sebagai mata-mata yang ditanamkan oleh Patih Suradipa membuat perasaannya harus terkubur dalam-dalam. Meski ia diutus untuk mengawasi Raden Arya, hatinya semakin tersakiti setiap kali melihat kedekatan antara sang pangeran dengan Adel.

"Apa kau menyukai bunga-bunga ini, Adel?" tanya Raden Arya ketika mereka berhenti di sebuah kios yang menjual bunga segar.

Adel mengangguk dengan senyum lebar, matanya bersinar penuh kebahagiaan. "Mereka sangat cantik, Raden. Aromanya begitu menenangkan."

Raden Arya tersenyum, lalu membeli beberapa bunga untuk Adel. Ia menyerahkannya dengan penuh kelembutan, seolah bunga-bunga itu adalah perwujudan dari perasaannya yang mulai tumbuh terhadap gadis tersebut. Ratna, yang menyaksikan ini semua, hanya bisa tertunduk lesu. Hatinya teriris perih, namun ia tahu tak ada yang bisa dilakukannya.

Namun, di tengah suasana yang ceria itu, sebuah bahaya mengintai. Tanpa mereka sadari, seseorang dari kejauhan mengawasi setiap langkah mereka. Mata-mata yang diperintahkan untuk mengawasi gerak-gerik Raden Arya dan Adel sudah lama bersiap, menunggu momen yang tepat untuk melancarkan serangan.

QUEEN OF TRANSMIGRATIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang