D.10 Pengakuan Jayadrata

519 80 1
                                    

Langit kelam tanpa bintang, hanya gumpalan awan gelap yang menggantung rendah. Hujan gerimis mulai turun, butirannya jatuh perlahan, membasahi tanah berdebu dan menyelimuti malam dengan aroma basah yang menusuk. Derai-derai kecil air menetes dari daun ke daun, menciptakan simfoni alam yang mencekam, seolah-olah hutan berbisik dalam bahasa rahasia.

Gerobak itu terus berguncang pelan di atas jalan setapak yang kini berlumpur, roda-rodanya berdecit samar seolah-olah enggan melaju. Adel duduk terikat di sudut gerobak, tubuhnya sedikit menggigil diterpa angin dingin yang menyusup ke balik pakaian tipisnya. Wajahnya pucat, tapi matanya berkilat tajam, mencari celah untuk melarikan diri.

Dua prajurit berbeda dengan di gudang yang mengawalnya mulai tampak gelisah, percikan air hujan mengenai wajah mereka, menyisakan kilatan basah di bawah sinar samar lentera yang menggantung di sisi gerobak. Hutan di sekeliling mereka berubah menjadi bayang-bayang gelap yang tampak mengancam, dengan suara gemerisik dedaunan yang seakan mengikuti setiap langkah mereka.

"Hei! Aku benar-benar harus buang air sekarang!" suaranya melengking panik, hampir tertelan oleh suara rintik hujan yang kian deras. Kedua prajurit itu menoleh, menatapnya dengan alis berkerut. Pria berbadan kekar yang memegang kendali gerobak melirik ke arah Adel dengan tatapan tak sabar.

"Lagi? Sudah kubilang tunggu sampai kita tiba." ucapnya.

"Aku tak bisa menahan lagi! Tolonglah! Apa kalian mau aku buang air di sini?" seru Adel, suaranya hampir menangis. Rasa putus asanya terdengar begitu nyata, dan ia menggeliat, mencoba meyakinkan kedua prajurit itu. "Tolong, cepat, atau aku akan—"

Prajurit kurus yang berdiri di samping rekannya menghela napas panjang. "Biarkan saja dia. Kita tak mau bau pesing sepanjang perjalanan, kan?" ujarnya setengah mengalah.

Dengan mendengus kesal, prajurit berbadan kekar akhirnya berhenti. "Baiklah, tapi cepat! Kita tak punya waktu untuk permainan bodohmu!" Ia melompat turun dari gerobak dan membuka tali yang mengikat tangan Adel. Tanpa membuang waktu, ia menariknya turun, menggenggam erat pergelangan tangannya.

"Ayo, cepat!" geramnya sambil menyeret Adel menuju tepi hutan, memasuki semak-semak lebat yang kini mulai dibasahi hujan. Cahaya lentera dari gerobak memantulkan kilau air hujan di dedaunan, menciptakan bayangan aneh di tanah basah.

Adel berjalan terpincang-pincang, pura-pura kesakitan. Prajurit kurus itu berdiri agak jauh, mencoba menghindari percikan air hujan yang turun semakin deras. "Cepat lakukan dan kembali. Jangan coba-coba kabur," ancamnya.

Adel mengangguk cepat, berpura-pura tak berdaya. Ia berjalan beberapa langkah lebih dalam ke hutan, hingga bayangan pohon-pohon besar mulai menelan tubuhnya. Hujan turun lebih deras, menyamarkan suara detak jantungnya yang berdebar kencang. Dalam gelap, ia menoleh sejenak, memastikan kedua prajurit itu tidak terlalu memperhatikannya.

Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Dengan cepat, ia berpura-pura melepas tali ikat pinggangnya, dan saat prajurit itu mulai memalingkan wajahnya, Adel berbalik dan berlari sekuat tenaga.

Langkah kakinya menghantam genangan air yang terbentuk di antara akar-akar pohon. Dingin menyusup ke tulang, tapi ia terus berlari, napasnya terengah-engah, nyaris tersengal oleh ketakutan dan adrenalin yang memuncak. Suara teriakan di belakangnya menggema, namun tertelan oleh deru hujan dan gemuruh guntur yang menggelegar di kejauhan.

"Dia kabur! Kejar!" raungan prajurit berbadan kekar itu menggema, disertai oleh bunyi dedaunan yang diterobos dengan kasar. Tapi Adel tidak peduli. Ia berlari semakin cepat, tubuhnya menyelinap di antara pohon-pohon besar yang gelap, menembus kabut tipis yang mulai merayap di permukaan tanah.

Setiap tetes hujan yang jatuh mengenai kulitnya terasa seperti cambukan dingin, tapi Adel tidak memperlambat langkahnya. Ia menyelusup di balik semak-semak lebat, nafasnya terasa panas di tenggorokan yang kering. Suara langkah-langkah kasar di belakangnya mulai menjauh, teredam oleh suara hujan yang menderas.

QUEEN OF TRANSMIGRATIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang