Bapak Pencemburu

105 4 0
                                    

Safiyah dan Alfatih tengah menikmati waktu berdua. Mereka menikmati matahari pagi yang menenangkan dan menghangatkan. Dengan Safiyah yang berada di sandaran dada sang suami, Alfatih mengusap lembut lengan istrinya dan sesekali mencium puncak kepala sang istri.

Untuk anak-anak, mereka tengah bermain di halaman rumah. Kejar-kejaran sembari tertawa derai dengan Hamzah yang terus menangkap sang adik, mereka sangat serasi sebagai kakak beradik. Alfatih dan Safiyah yang menyaksikan kedua anaknya itu tersenyum lebar.

"Mamas ayo kejar dedek." ucap gadis bercadar itu

"Oh nantangin ya dek." ucap Hamzah langsung mengejar sang adik yang berlari menuju gerbang rumah dan kembali ke area halaman

Tawa mereka menambah suasana hangat dan senyum mereka menghiasi bibir. Hamzah berhasil menangkap sang adik lalu ia berputar, Asiyah mengalungkan tangannya di leher sang kakak dengan tawa yang tidak terputus.

"Sayang, kalau bayi kita sudah lahir dan dia perempuan aku yakin Hamzah pasti akan lebih posesif lagi ke adiknya. Dan jika yang lahir laki-laki, pasti Hamzah akan bersekongkol sama adiknya buat jaga Asiyah setiap waktu." ucap Alfatih kepada sang istri yang tengah bersandar kepadanya

Safiyah tersenyum dan menyamankan posisi tubuhnya lalu berkata. "Pasti, liat Hamzah posesif ke Asiyah aku jadi inget kamu yang selalu posesif ke Amina. Kamu benar-benar kakak yang super posesif."

"Harus sayang, aku tau bagaimana susahnya jaga anak gadis jadi posesif ke adik perempuan satu-satunya sampai kapanpun itu harus." ucap Alfatih

"Aku jadi keinget waktu dulu Amina pernah bilang, kamu minta abi dan umi buat ditemenin ke rumah aku, waktu itu aku mau jawab lamaran kamu dan Amina hampiri kamu di pondok. Sewaktu ada gerombolan laki-laki kamu noleh ke temen kamu tapi mata Amina ditutup padahal dia sudah pakai cadar dari dulu." Safiyah menjelaskan mengenai Amina yang bercerita bagaimana posesifnya Alfatih terhadapnya

Mata yang ditutup ketika ada laki-laki lain dan bahkan Alfatih pernah meminta di suatu ketika untuk tidak berbicara kala masih ada laki-laki lain. Mungkin Alfatih melakukan itu karena wanita adalah pembangun syahwat terbesar, jadi mau tidak mau menjaga sang adik dengan cara seperti itu agar adiknya tetap terjaga kehormatannya.

"Karena perempuan itu mahal, wajar mas bersikap begitu ke Amina karena mas tau bagaimana sulitnya menjadi perempuan." ucap Alfatih

"Ya sulit memang mas, aku berangan untuk menikah di umur dua puluh tiga tapi ternyata kamu datang dipenghujung umurku yang ke sembilan belas." kata Safiyah mengingat dulu ia pernah memiliki angan untuk menikah di umur dua puluh tiga namun tidak diketahui olehnya Alfatih melamarnya dan keduanya menikah di saat Safiyah hampir memasuki umur dua puluh tahun

Alfatih terkekeh mendengar ucapan sang istri dan ia mencium kening istrinya. "Karena jodoh  kamu datang di usia kamu yang ke sembilan belas tahun, sayang."

"Aku maunya dua puluh tiga baru punya anak malah anak kita udah dua tahun di saat itu." Safiyah mengerucutkan bibirnya dibalik cadar yang ia pakai

Alfatih tertawa kecil lalu mengusap lembut lengan sang istri "berarti Allah sudah menentukan rezeki kita di usia kamu yang ke dua puluh tiga sebagai ibu dengan anak berumur dua tahun."

Safiyah menatap sang suami dan memukul pelan dada suaminya. "Ish mas nggak seru!" Ucapnya

Alfatih tertawa dan memeluk erat sang istri yang memiliki tubuh sama, yakni langsing dan tingginya tidak terlalu tinggi. Semua yang ada pada Safiyah benar-benar tidak berubah, entah itu cantiknya, badannya, cerianya dan sifat manjanya. Dan dengan semua hal yang tidak berubah pada Safiyah itu membuat Alfatih bersyukur karena ia bisa menikmati masa diamah ia menjaga seorang ayah dengan Safiyah yang menjadi ibu dari anak-anaknya dengan semua hal yang masih sama.

Cinta Seorang Santri (Segera Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang