28. Dia Kemabali 2

6 0 0
                                    

Selamat membaca!

Azalea merasa aneh dengan Devanka, semenjak kepulangannya dari acara makam malam yang berakhir bertemu dengan Kaila dan Perempuan yang Azalea tidak kenal itu Devanka sering diam. Bahkan, Azalea sering mendapati Devanka melamun dan tidak fokus dengan apa yang sedang dikerjakannya. Pernah Azalea menanyakan apa yang terjadi, tapi Devanka hanya diam dan mengatakan tidak ada apa-apa. Jika sudah begitu, Azalea harus mencari tahunya sendiri.

Seperti yang Azalea dapati sekarang, dia sedang sarapan dengan Devanka, tapi laki-laki itu hanya diam sejak masuk ke dapur. Mulut Azalea gatal sekali ingin bertanya pada Devanka, tapi dia tetap berusaha menahannya.

Meski Devanka diam, Azalea tetap mengantarkan Devanka sampai halaman rumahnya. Setelah menyalami Devanka, Azalea yang akan mencium Devanka seperti biasanya tidak terlaksana karena Devanka yang dengan cepat menarik gasnya untuk melajukan motornya.

Ingin sekali Azalea meninju wajah Devanka agar tersadar dari diamnya itu.

Siang harinya Azalea menghubungi Kaila, dia harus bertanya pada sahabatnya itu. Sudah mendapatkan jawaban dari Kaila, Azalea bersiap-siap untuk pergi ke Kafe tempat mereka mereka akan bertemu.

Azalea memasuki Kafe itu yang ternyata sudah ada Kaila yang menunggunya. Dengan satu gelas minuman di depannya.

“Udah dari tadi?” tanya Azalea masih dengan ekspresi santai.

“Barusan, kok.” Sahut Kaila dengan tersenyum dan menaruh ponsel di meja. “Udah pesen?” lanjutnya melihat Azalea duduk.

“Enggak pesen, lagi males aja.”

Kaila mengangguk mengerti. Lalu mengubah tatapannya menjadi serius menghadap Azalea.

“Aza, kamu pasti mau tanya soal semalem, kan?”

“Iya, kamu pasti tau sesuatu, Kai.”

Kaila menghela napas pelan sebelum mulai menjelaskannya pada Azalea.

“Perempuan yang datang sambil manggil namaku waktu kita berbicara, dia Kakaku, Kak Ana. Dan Kak Ana itu kekasih suami kamu, Aza,” pelan Kaila di akhir kalimat, “Kak Ana yang seharusnya nikah sama Devanka waktu itu, tapi gagal karena Kak Ana yang tiba-tiba pergi meninggalkan Devanka.”

Azalea membeku mendengar penjelasan Kaila. Raut wajahnya bercampur antara terkejut menahan marahnya. Kenapa dari sekian banyak orang, kenapa harus Kakak dari sahabatnya sendiri. Sesempit itukah dunia?

“Tapi kenapa, kenapa, Kai?” dengan lirih Azalea bertanya lagi.

“Kamu ingat waktu aku cerita ke kalian tentang Kak Ana yang harus ninggalin acara yang penting buat dia karena Mamah pergi selamanya? Dan ternyata itu acara pernikahan Kak Ana dengan Devanka. Baik aku, Papah, atau Kak Liana sendiri lupa akan acara yang sangat penting itu. Aneh memang, ada manusia yang bisa lupa dengan acara pernikahannya sendiri, tapi itu yang terjadi di kita.”

Azalea tidak tahu harus bagaimana sekarang. Perempuan yang seharusnya bersanding dengan Devanka sudah kembali. Apakah Azalea harus melepas Devanka atau tetap mempertahankannya karena dia yang sudah terlanjur jatuh hati pada Devanka.

Azalea jadi teringat saat dia mengikuti Devanka untuk bermain golf, dan di sana Azalea tahu nama kekasih Devanka untuk pertama kalinya. Dan bagaimana dia tidak sadar ternyata nama yang disebut ‘Liana’ itu Kakak dari Kaila yang sering dia sebut dengan panggilan Kak Ana.

---

Devanka mengacak rambutnya frustrasi, sejak sampai di sekolah dia tidak fokus pada pembelajaran yang dilakukan. Bahkan, muridnya sering sekali memanggil namanya karena Devanka yang ketahuan selalu melamun.

“Pak Devan, kenapa? Ada masalah? Dari tadi aku liat kaya ngelamun terus.” Tanya salah satu guru dengan nama Farzan sembari duduk di depan Devanka.

“Nggak papa, Pak.” Jawab Devanka dengan menggelengkan kepalanya dan tersenyum.

“Aku kira kenapa. Kalau lagi sakit istirahat dulu nggak papa,” Guru dengan nama Pak Farzan itu memberi nasihat pada Devanka. “Oh, iya, istri Pak Devan yang bisanya bawain bekel nggak ke sini? Biasanya dia nggak pernah absen bawain Pak Devan bekel.”

Devanka baru sadar, jam istirahat hampir berakhir dan Azalea belum datang untuk membawakannya bekal. Devanka jadi merasa bersalah karena mendiami Azalea yang tidak mengetahui permasalahannya. Azalea selalu bertanya tentang apa yang terjadi, tapi Devanka selalu menjawabnya dengan tidak apa-apa.

“Lagi libur, Pak.”

“Oh, kalau gitu saya ke kantor duluan.” Pamitnya dengan bangkit dari duduknya untuk keluar dari kantin.
Devanka menanggapinya dengan anggukan lemah. Lalu menghela napas kecil.

Ponsel di sakunya bergetar beberapa kali. Dia mengambil benda persegi panjang itu dan membuka pesan yang ada.

Matanya membelalak kecil mengetahui siapa yang mengiriminya pesan. Tidak ingin menanggapi pesan dari Liana, tapi Devanka juga butuh penjelasan dari perempuan itu.

Sesuai permintaan Liana, setelah pulang sekolah kini Devanka pergi ke Kafe tempat mereka biasanya bertemu dulu. Dan Devanka harus kembali membuka kenangan-kenangan saat bersama Liana.

Di hadapan Devanka sekarang, Liana duduk dengan diamnya. Semenjak kedatangannya Devanka, Liana belum membuka suaranya sama sekali. Perempuan itu hanya menatap Devanka dengan sendu.

“Kamu tau apa yang harus dilakukan, Liana,” celetuk Devanka dengan suara beratnya.

“Maaf,” kata itu yang Liana keluarkan pertama kali.

“Maaf, Dev. Maaf, sudah mengacaukan acara yang kita nantikan dan rencanakan sebaik mungkin,” dengan nada lirih Liana yang masih bisa didengar oleh Devanka, “Seharusnya aku nggak tiba-tiba pergi, seharusnya aku mengatakan sesuatu dulu sama kamu, Dev. Tapi, Kepergian Mamah yang mendadak membuatku nggak bisa berpikir jernih, yang aku pikirkan waktu itu aku cuma mau ketemu sama Mamah, aku mau peluk Mamah yang terakhir kali,” suara Liana tercekat karena harus mengingat Mamahnya kembali.

Devanka tersentak mengetahui Mamahnya Liana yang sudah pergi, jadi itu alasan Liana yang pergi meninggalkan Devanka di hari pernikahannya. Devanka tahu bagaimana sakitnya ditinggal pergi oleh orang tua, Devanka sudah merasakan semua itu. Namun, apa pun alasan Liana, Devanka tetap kecewa dengan Liana.

“Ana, kalau kamu ngasih tau aku waktu itu, aku nggak papa. Dan aku bisa nganter kamu ke sana, kamu nggak harus pergi sendiri. Apalagi kondisi kamu yang pasti kaget.”

“Maaf, Dev. Aku buat kamu kecewa.” Air mata yang Liana tahan akhirnya turun juga, dia terlalu sakit mengingat semuanya, apalagi mengingat dia yang sudah menyakiti Devanka.

Melihat Liana menangis Devanka berdiri dari duduknya untuk memeluk Perempuan itu. Dia tidak suka melihat Liana menangis, itu juga membuat hatinya sakit. Terlebih lagi Liana yang sudah kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya. Sudah pasti rapuh dan kecewa.

“Aku memang kecewa sama kamu, Ana. Tapi aku nggak suka liat kamu nangis. Jadi berhentilah menangis, kamu bisa bersandar dan bercerita sama aku. Seperti dulu.” Ucap Devanka dengan mengelus kepala Liana.

Liana mengangguk dan memberhentikan tangisnya. Pelukan Devanka masih sama seperti dulu, nyaman dan membuatnya merasa dilindungi.

Liana melepaskan pelukan Devanka, lalu mendongak menatap Devanka. “Maaf, Dev.”

“Jangan minta maaf lagi, itu tidak akan mengembalikan semuanya,” ungkap Devanka, “Mau jalan-jalan?” imbuhnya lagi dengan menawari Liana untuk jalan-jalan. Setidaknya itu bisa membuat Liana menghilangkan kesedihannya.

Senandung SilsilahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang