Semua yang terjadi di antara Dejan dan Nindya adalah kesalahan. Bukan kesalahan siapapun, tapi Dejan tetap menyebut penyebab mereka bersama karena suatu kesalahan. Sebab semua yang terjadi bukan atas dasar keinginan bersama.
Kebersamaan mereka tak...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi ini rasanya agak berbeda. Nindya yang sudah bangun sejak lima belas menit yang lalu lebih memilih untuk menghirup udara sejuk di balkon. Dengan mengeratkan kimono tidurnya, Nindya menoleh ke belakang pada pintu balkon yang telah ia tutup kembali. Sedangkan di dalam kamar, Dejan masih terlelap dengan nyenyak mungkin masih bermimpi.
Semalam tak hanya sampai situ saja, setelah keduanya kembali ke kamar harus Nindya akui mereka tergoda untuk melakukannya lagi dan lagi. Senyumannya mengembang saat mengingat keduanya menghabiskan menu makan malam yang ia buat bersama-sama setelah menuntaskan habis hasratnya.
Wajar 'kan bila Nindya bungah?
Sambil melihat luasnya lahan rumah milik Dejan, lengan Nindya bertumpu pada pinggiran balkon. Ia tak menghiraukan udara pagi yang menusuk-nusuk tubuhnya. Sedang tangannya memainkan gelang yang dibeli di Bali. Setiap saat, Nindya selalu reflek memainkan benda itu jika pikirannya sedang penuh dengan sosok suaminya tersebut. Cahaya matahari belum seutuhnya menampakkan diri, masih agak gelap, tapi kebahagiaan yang terpancar dari wajah Nindya tak kalah cerah dari sinar matahari.
Fakta bahwa Nindya sudah menjadi istri seutuhnya terus-terusan mengelilingi pikirannya.
Apa Dejan merasakan seperti apa yang ia rasakan?
"Halo? Gimana? Oke, sebelum jam tujuh gue udah disana."
Sayup-sayup ia mendengar suara, Nindya menoleh ke belakang lagi dan kali ini sudah mendapati Dejan yang duduk di pinggiran kasur dengan keadaan rambut super acak-acakan dan satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinga. Pria itu sudah terbangun dan tengah bertelponan. Dejan memang bilang hari ini sudah mulai masuk kerja, jadi Nindya berusaha untuk bangun pagi-pagi sekali sebelum pria itu bangun. Nindya beranjak membuka pintu dan kembali masuk, berhasil memusatkan atensi Dejan dari ponsel lalu beralih padanya.
"Morning," Nindya tersenyum. "Aku habis dari luar. Cari udara segar," katanya seolah tahu arti tatapan dari Dejan.
Dejan mengangguk. Ia menyimpan ponselnya dan berdiri. "Aku harus cepat-cepat ke kantor," ujarnya.
"O-Oke, kalau gitu biar aku siapkan dulu pakaian kerja kamu," Nindya agak kaku karena ini adalah kali pertama baginya. "Kamu mau mandi pakai air hangat? Atau—"
"Gak perlu," Dejan melangkah ke arah kamar mandi. "Tolong siapkan pakaianku saja."
Senyum yang ia tampilkan tadi entah kenapa pelan-pelan memudar. Matanya memejam sesaat. Sebenarnya apa yang sedang ia harapkan di pagi hari ini, sih? Dejan bangun tidur dengan senyuman manis lalu memeluk dan memberinya morning kiss, begitu? Kalau iya artinya Nindya terlalu terbawa perasaan dan menganggap kejadian semalam akan berpengaruh pada hubungan sebenarnya yang sedang mereka jalankan.
Baru pukul setengah enam pagi, tapi Nindya rasa ia menjadi orang tersibuk satu dunia. Demi Tuhan Nindya tak tahu mana kemeja favorit Dejan, mana dasi yang pantas dikenakan pria itu dan mana setelan yang pas untuk hari ini. Ditambah lagi kaos kaki Dejan tersimpan di laci mana ia tak tahu, Nindya pun kebingungan saat memilihkan underwear untuk pria itu yang malah membuat pipinya bersemu merah mengingat sesuatu. Akhirnya dari lantai tiga, Nindya membuka ponsel dan menelepon Bude Yuli setelah kemarin mereka bertukar kontak.