Aksara Nurmala adalah seorang gadis berusia 18 tahun dengan kulit putih, rambut hitam panjang yang sering ia biarkan terurai, dengan mata sayu yang memancarkan kelembutan. Tingginya sekitar 158 cm, tubuhnya langsing, dengan penampilan yang selalu rapi dan feminim. Dia suka mengenakan pakaian sederhana tetapi elegan, seperti blus lembut dan rok selutut, yang mencerminkan kepribadiannya yang tenang dan penuh perhatian.
Aksara adalah pribadi yang lembut, penuh empati, dan cenderung pendiam. Meski terlihat pemalu, dia memiliki ketertarikan mendalam terhadap sastra dan seringkali menghabiskan waktu dengan membaca atau menulis. Di balik sikapnya yang tenang, Aksara menyimpan mimpi besar untuk menemukan jati dirinya melalui kata-kata. Dia memiliki ketahanan mental yang kuat dan berusaha untuk terus maju meski sering merasa ragu atau tidak percaya diri. Kepribadian feminimnya tampak dalam sikapnya yang halus dan bijaksana, namun dia juga memiliki tekad yang kuat ketika datang pada hal-hal yang ia yakini.
Di hari pertamanya, Aksara menatap keluar dari jendela bus, menyaksikan panorama kota besar yang perlahan-lahan muncul dari balik kabut pagi. Rasa cemas dan antisipasi bercampur menjadi satu saat matahari mulai memancarkan sinarnya di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang. Kota ini terasa asing, seperti sebuah teka-teki yang belum terpecahkan, dan Aksara tahu bahwa hidup barunya dimulai di sini.
Saat bus berhenti di halte, Aksara menarik napas dalam-dalam dan melangkah keluar, merasakan udara kota yang segar namun penuh dengan aroma yang tidak dikenalnya. Bagasi kecilnya, berisi barang-barang penting, terasa berat di tangannya, seolah-olah membawa beban harapan dan impian yang mengikutinya.
Dia berjalan menuju kos yang sudah disiapkan, sebuah bangunan sederhana dengan beberapa kamar yang disewakan. Kamar barunya kecil, dengan jendela kecil yang menghadap ke gang sempit. Meskipun sederhana dan sedikit usang, Aksara merasa ada sesuatu yang memanggil di dalam dirinya untuk mulai menata ruang yang baru ini sebagai rumah.
Setelah menata barang-barangnya, dia memutuskan untuk menjelajahi lingkungan sekitar. Kakinya membawanya ke sebuah kedai kopi kecil yang terletak di sudut jalan, tempat di mana aroma kopi segar menyambutnya dengan hangat. Ini adalah pertama kalinya dia melangkah ke tempat ini, dan rasanya seperti menemukan oasis di tengah kekacauan kota.
Dia memesan secangkir kopi hitam dan duduk di meja dekat jendela, menyaksikan lalu-lalang orang-orang di luar. Menurut rencana, hari ini adalah hari pertama kuliah, dan rasa berdebar di dadanya tak bisa dihindari. Namun, di tengah kesibukan dan kegelisahan itu, ada kedamaian sederhana dalam secangkir kopi yang masih mengepul di tangannya.
Aksara mengeluarkan jurnalnya dari tas, membuka halaman-halaman kosong yang siap diisi. Dengan pena di tangan, dia mulai menulis, bukan tentang harapan besar atau rencana besar, tetapi tentang momen ini. Tentang kedai kopi yang menjadi tempatnya pertama kali menenangkan pikiran dan mengumpulkan kekuatan.
Saat Aksara merenung, dia menyadari bahwa kota ini adalah babak baru dalam hidupnya, penuh dengan peluang dan tantangan. Setiap cangkir kopi, setiap interaksi, dan setiap langkah yang diambil di sini akan membentuk cerita hidupnya. Dan di sinilah, di kedai kopi kecil ini, di tengah aroma kopi dan hiruk-pikuk kota, Aksara memulai perjalanan pencarian makna dan jati diri.
*JANGAN LUPA VOTE*
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...