27.

45 10 3
                                    

Setelah tiba di kosan, aku duduk di tepi jendela, menatap hujan yang tak kunjung reda. Rasanya, setiap tetes yang jatuh mengguyur hatiku yang patah. Dengan perlahan, aku mengelap air mata yang membasahi pipiku. Saat menatap keluar, bayangan Rafif mulai menyusup ke dalam pikiranku.

Aku membayangkan bagaimana seharusnya dia menghampiriku, seperti yang sering dia lakukan setiap malam. Di bawah hujan lebat sekalipun, Rafif selalu membawa makanan kesukaanku nasi goreng spesial yang dia buat sendiri, lengkap dengan kerupuk dan sambal. Ingatanku melayang ke malam-malam indah saat dia berdiri di depan kosan, dengan senyum lebar dan mata berbinar, seakan-akan dunia ini milik kami berdua.

"Aksara, kamu sudah makan?" suaranya yang lembut kembali terngiang di telingaku, membuatku merindukan kehadirannya lebih dalam. Dia selalu bisa membuatku merasa istimewa hanya dengan kata-kata sederhana. Di setiap malam yang kami lewati, dia akan bercerita tentang harinya, sementara aku mendengarkan dengan penuh perhatian, terkadang tertawa bersama saat dia menceritakan hal-hal konyol.

Aku membayangkan Rafif datang dengan payung, menutupi kami dari guyuran hujan, dan membawakan makanan yang selalu berhasil membuatku tersenyum. Setiap kali dia mengantarkanku makan, rasanya seperti dunia berhenti sejenak, membiarkan kami berdua menikmati kebersamaan tanpa beban.

Namun sekarang, semua itu terasa jauh. Kenyataan pahit mengingatkanku bahwa mungkin, semua kenangan manis itu hanya akan menjadi masa lalu. “Kenapa kamu tidak menghubungiku, Rafif? Kenapa kamu tidak menjelaskan semua ini?” pikirku dalam hati. Rindu akan kehadirannya menggerogoti pikiranku, sementara kesedihan tentang gosip itu semakin membayangi.

Aku berusaha menahan diri agar tidak membayangkan momen indah yang pernah ada, tapi bayangan Rafif yang tersenyum di depan pintu kosan tetap membekas. Dalam keheningan malam yang disertai suara hujan, aku hanya bisa berharap dan berdoa agar dia segera kembali dan menjelaskan semuanya. Harapanku semakin tipis, namun hatiku masih menggenggam seberkas harapan bahwa ada penjelasan di balik semua ini.

Aku menatap langit yang gelap, berharap dia bisa merasakan betapa aku merindukannya. “Rafif, di mana kamu?” desisku dalam hati, berharap suaraku bisa mencapai tempatnya, berharap dia tahu betapa aku masih menunggu kehadirannya di sini, di sisi kehidupanku yang penuh warna.

Gema Asa di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang