12. Tamat

39 21 5
                                    


Setelah Rapat Hima, aku merasa sedikit lebih tenang meskipun masih banyak yang harus diselesaikan. Namun, hari itu aku memutuskan untuk menenangkan diri dulu, dan tidak ada tempat yang lebih baik untuk itu selain kedai kopi favoritku.

Aku duduk di pojok kedai, memesan secangkir kopi hitam. Sejenak, aku melupakan masalah di Hima. Di tengah-tengah lamunanku, pintu kedai terbuka dan aku melihat sosok yang sudah mulai kukenal-Rafif.

"Kakak?" panggilku dengan ragu.

Rafif menoleh, lalu tersenyum lebar saat melihatku. "Aksara! Lagi ngopi sendirian?"

Aku mengangguk, lalu ia langsung mengambil tempat duduk di hadapanku tanpa diminta. "Kakak suka kopi?" tanyaku untuk memecah keheningan.

Rafif tertawa kecil. "Kopi hitam, tanpa gula. Sama kayak kamu, ya?"

Aku terkejut. "Kakak tahu?"

Rafif mengangkat bahu dengan santai. "Kan aku sering lihat kamu di sini. Udah mulai apal pesananmu."

Kami tertawa bersama. Perlahan-lahan, suasana menjadi lebih nyaman. Dari obrolan santai tentang kopi, topik beralih ke banyak hal lainnya. Ternyata, Rafif orang yang cukup mendalam ketika berbicara, meskipun terlihat santai. Dia bercerita tentang pengalamannya di Sastra Inggris, tentang buku-buku favoritnya, dan sesekali memberikan pandangan-pandangan yang membuatku berpikir.

"Aksara," ucap Rafif tiba-tiba dengan nada yang lebih serius, "aku tahu kamu lagi ada masalah di Hima, kan? Tapi kamu nggak perlu khawatir. Semua itu cuma bagian dari proses. Jangan biarkan itu bikin kamu kehilangan semangat."

Aku tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan perhatiannya. "Makasih, Kakak. Aku akan coba hadapi semuanya dengan lebih tenang."

Rafif memandangku dengan lembut, lalu berkata, "Kalau kamu butuh teman ngobrol atau tempat pelarian, aku selalu ada. Kedai ini bisa jadi markas kita, tempat kita ngopi dan melupakan sejenak masalah kampus."

Hatiku terasa lebih ringan mendengar kata-katanya. Di tengah semua kekacauan yang terjadi, ada momen sederhana seperti ini yang mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian.

"Kakak," panggilku dengan lebih tenang, "makasih ya. Aku beruntung bisa kenal sama Kakak."

Rafif hanya tersenyum sambil menyeruput kopinya, tanpa berkata apa-apa lagi. Kami duduk dalam diam yang nyaman, menikmati secangkir kopi di kota baru ini.

Dan di saat itulah aku sadar, meski kota ini penuh dengan tantangan dan masalah, ada juga kehangatan dan dukungan yang datang dari orang-orang yang tak terduga.

Gema Asa di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang