28.

23 8 0
                                    

Aksara duduk di sudut kamar kosnya, matanya masih sembap setelah menangis lama. Di hadapannya, secarik kertas kosong tergeletak di meja. Ia memutar pena di jarinya, berusaha menuangkan perasaannya yang campur aduk ke dalam kata-kata. Saat akhirnya ia mulai menulis, setiap baris puisi terasa seperti cermin dari hatinya yang hancur.

---

"Dalam senyap, aku menunggu
Di antara hujan yang tak henti menyapa,
Kau hadir dalam bayang,
Tapi tak menyentuh nyata,
Rasa yang dulu utuh, kini retak perlahan-lahan.

Kenapa kau diam, saat aku bertanya?
Kenapa kau jauh, saat aku mendekat?
Apakah aku hanya ilusi,
Di antara cerita yang kau simpan untuknya?

Aku berlari, mengejar jawaban yang tak pernah datang,
Sementara kau berlindung di balik diam.
Aku merindu, tapi apakah rinduku tersampaikan?
Atau hanya tertahan di balik malam yang semakin kelam?"

---

Aksara menatap puisi itu, merasa setiap kata seperti menghancurkan sedikit demi sedikit benteng pertahanan yang ia bangun. Ia meletakkan penanya dengan pelan, menghela napas panjang.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu.

Nara membuka pintu kamar kos dengan hati-hati, melihat sahabatnya duduk di tepi jendela, terisak dalam kesunyian. Ia langsung menghampiri, tanpa berkata-kata. Tanpa ragu, Nara merengkuh Aksara ke dalam pelukannya, membiarkan Aksara meluapkan air mata.

"Ra..." bisik Nara dengan lembut, membelai punggung Aksara yang berguncang karena tangis.

Aksara berusaha menahan isaknya, tapi air mata terus mengalir deras. “Kenapa harus begini, Nar... kenapa dia pergi dan ninggalin aku tanpa penjelasan?” suaranya terdengar patah, penuh luka yang dalam.

Nara mengeratkan pelukannya. “Aku di sini, Ra... Tenang ya, aku di sini,” gumamnya menenangkan, membiarkan Aksara menangis sepuasnya.

Setelah beberapa menit, Aksara mulai bisa mengendalikan dirinya. Nara perlahan melepaskan pelukannya, menatap Aksara dengan mata penuh keprihatinan.

“Ra, cerita sama aku. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Nara, berusaha memberikan ruang bagi sahabatnya untuk bicara.

Aksara menarik napas panjang, lalu mulai menceritakan semuanya tentang gosip Clarissa yang hamil, Rafif yang menghilang tanpa kabar, hingga pertemuannya dengan mereka berdua di tengah hujan. Setiap kata yang ia keluarkan seperti membuka kembali luka yang belum sempat sembuh.

“Aku lihat mereka, Nar... Rafif lagi memayungi Clarissa, sementara aku... hujan-hujanan sendirian. Aku bahkan gak tahu apa yang terjadi sebenarnya,” kata Aksara dengan suara yang lirih.

Nara menatap Aksara dengan penuh simpati. “Aku tahu gosip itu, Ra... tapi aku yakin Rafif gak kayak gitu. Kamu harus dengar penjelasan dari dia sendiri.”

Aksara menggeleng, air mata kembali menetes. “Aku udah chat dia, Nar. Aku tanya langsung tentang gosip itu, tanya kenapa dia hilang sebulan ini. Tapi dia cuma balas satu kalimat: Maafin aku, Ra. Itu aja.”

Nara terdiam sejenak, mencoba mencerna semuanya. "Ra, mungkin dia punya alasan. Mungkin ada hal yang gak bisa dia jelasin sekarang."

"Tapi kenapa harus seperti ini?" Aksara menatap keluar jendela, hujan masih turun deras. "Aku cuma ingin dia bicara, Nar... Aku cuma ingin tahu kebenarannya. Kenapa dia pergi tanpa sepatah kata?"

Nara menarik napas panjang, lalu memeluk Aksara lagi. "Ra, aku ngerti ini berat. Tapi kamu gak sendiri. Aku di sini buat kamu, apapun yang terjadi."

Aksara menunduk, rasa rindu dan kecewa bercampur aduk di hatinya. "Aku rindu dia, Nar. Rindu cara dia selalu bawain nasi goreng favorit aku setiap malam, rindu obrolan kita di depan pintu kos. Tapi sekarang semuanya terasa jauh..."

Nara mengusap kepala Aksara dengan lembut. "Aku tahu, Ra. Tapi kamu harus kuat, oke? Kita bakal cari tahu kebenarannya. Dan apapun yang terjadi, aku selalu ada buat kamu."

Aksara hanya bisa mengangguk pelan meskipun di hatinya pertanyaan-pertanyaan tak terjawab masih terus menghantui.

Gema Asa di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang