Aksara duduk diam di sudut kedai kopi, mencium aroma khas yang berasal dari cangkir di hadapanku. Hari pertama di kota besar ini sudah dimulai, dan semua terasa sangat berbeda dari yang kubayangkan. Hiruk-pikuk kota di luar jendela mengalir tanpa henti, sangat bertolak belakang dengan kehidupan tenang di desaku. Aku menatap keluar, melihat orang-orang berlalu-lalang, terburu-buru menjalani kehidupan yang entah bagaimana terasa asing bagiku.
"Ini adalah langkah yang kuambil, tapi kenapa rasanya seperti berjalan di tempat yang tidak kukenal?" gumamku dalam hati.
Sebelum datang ke kota ini, aku yakin meninggalkan kenyamanan hidup di desa adalah keputusan terbaik. Aku selalu merasa ada sesuatu yang lebih besar menungguku di luar sana-di dunia yang lebih luas dari sekadar pepohonan dan sawah yang dulu setiap hari kulihat. Aku ingin tumbuh, berkembang, dan menemukan jati diri yang selama ini terasa samar.
Namun, sekarang ketika aku sudah berada di tengah kota, semuanya tampak lebih sulit dari yang kukira. Tidak ada lagi keheningan yang biasanya membantuku berpikir jernih. Kampus yang kudatangi tadi pagi juga terasa membingungkan, terlalu besar dan ramai untuk membuatku merasa seperti di rumah. Teman-teman sekelasku tampak sudah saling mengenal, sementara aku masih mencoba mencari ritme di tempat baruku ini.
Aku menyesap kopi hitam yang tersisa di cangkir, berharap rasa pahit itu bisa sedikit menenangkan pikiranku. Mataku tertuju ke jurnal yang tergeletak di atas meja. Membuka halaman kosong, aku mulai menuliskan kata-kata yang sejak tadi menggumpal di pikiranku.
"Kenapa aku ada di sini? Apa yang sebenarnya kucari?"
Tanganku berhenti sejenak. Pikiranku melayang pada kehidupan di desa-tempat di mana aku bisa mendengar suara angin berbisik di antara dedaunan setiap pagi. Tempat di mana aku mengenal setiap orang, dan setiap sudut jalan seolah-olah sudah menjadi bagian dari diriku. Tetapi, di balik semua kehangatan itu, ada perasaan hampa. Perasaan bahwa aku membutuhkan lebih, sesuatu yang bisa menjawab pertanyaan yang selama ini kupendam dalam-dalam.
"Aku butuh perubahan. Aku butuh tahu lebih banyak tentang dunia ini," tulisku, mencoba menguatkan diri.
Meskipun aku tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang, aku tak bisa menyingkirkan rasa ragu yang terus mengganggu. Mampukah aku bertahan di kota ini? Di kampus yang asing, di tengah orang-orang yang sibuk dengan hidup mereka sendiri? Ketidakpastian itu semakin membesar setiap kali aku berpikir terlalu jauh ke depan.
Namun, di satu sisi, aku sadar bahwa inilah hidup. Penuh dengan ketidakpastian, tetapi juga dengan kemungkinan yang tak terbatas. Setiap langkah kecil yang kuambil adalah bagian dari perjalanan besar yang belum kupahami sepenuhnya. Mungkin aku belum menemukan jawabannya sekarang, tapi di kota ini, di kedai kopi kecil ini, aku tahu bahwa setiap hari akan memberikan pengalaman baru, pelajaran baru yang akan menuntunku ke arah yang kucari.
"Aku akan baik-baik saja. Perlahan, aku akan menemukan jalanku." Dengan keyakinan itu, aku menutup jurnal, menatap secangkir kopi yang kosong, dan menghela napas panjang.
Di luar, langit kota mulai berubah warna, tanda hari sudah semakin sore. Aku mengangkat tas dan bersiap pulang ke kos yang masih terasa asing bagiku. Namun, kali ini, langkahku terasa lebih ringan. Mungkin, hidup di kota besar ini tidak akan seburuk yang kupikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
أدب المراهقينAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...