Beberapa minggu setelah perbincangan kami di kafe kampus, aku mulai merasa bahwa perasaanku terhadap Rafif semakin nyata. Hubungan yang sebelumnya begitu santai kini mulai menyiratkan kedalaman yang belum pernah kusadari sebelumnya. Setiap pertemuan dengannya membawa kebahagiaan kecil yang sulit aku abaikan.
Sore itu, Rafif mengajakku ke sebuah tempat yang katanya istimewa. Tanpa banyak petunjuk, dia hanya berkata, "Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan." Aku pun ikut, diliputi rasa penasaran dan sedikit cemas.
Sesampainya di sana, aku terkesima. Kami tiba di sebuah taman tersembunyi di dekat danau kecil, dikelilingi pepohonan rindang dan bunga-bunga liar yang bermekaran. Warna-warni bunga menghiasi setiap sudutnya, tetapi yang paling mencolok adalah hamparan bunga tulip berwarna merah muda yang tumbuh subur di sepanjang tepi danau.
Setelah berjalan sejenak, kami sampai di tempat yang tampaknya telah dipersiapkan oleh Rafif. Sebuah selimut piknik berwarna pastel telah terbentang di atas rumput hijau. Di atasnya, tertata rapi sebuah kotak kue kecil, beberapa buku, dan sebuah buket bunga yang indah. Buket itu, penuh dengan bunga tulip merah muda yang segar, memancarkan kelembutan yang sempurna. Kelopak-kelopaknya besar dan rapi, tersusun dengan warna gradasi merah muda pucat hingga merah muda terang, memberikan kesan elegan dan penuh perhatian.
Rafif memegang buket itu dengan hati-hati sebelum menyerahkannya kepadaku. "Aksara," suaranya lembut namun penuh keyakinan. "Aku tahu, mungkin kamu masih butuh waktu untuk memahami perasaanmu, tapi aku nggak bisa lagi menahan perasaanku lebih lama."
Dia meletakkan buket tulip itu di tanganku. Sentuhannya lembut, seperti perasaannya yang tak pernah mendesak, selalu memberiku ruang. "Kamu adalah seseorang yang begitu berarti untukku, dan aku ingin kamu tahu betapa besar rasa sayangku."
Aku menatap buket tulip itu, begitu cantik, seolah-olah Rafif mengekspresikan perasaannya melalui keindahan bunga-bunga itu. Tulip, dengan kelopak yang kokoh namun lembut, seakan menyimbolkan perasaan yang tulus dan tak tergesa-gesa.
Di depan kami, matahari mulai terbenam, cahayanya memantulkan rona merah muda di permukaan danau yang tenang. Semua terasa begitu sempurna. Keindahan yang sederhana namun memikat, sama seperti apa yang kurasakan terhadap Rafif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...