Malam itu, aku merasa lebih lega. Rasanya hari-hari ke depan akan sedikit lebih menyenangkan, meski perasaan ini masih bercampur aduk. Sejujurnya, aku masih belum tahu apa yang sebenarnya kurasakan tentang Rafif. Apakah ini hanya kagum biasa, atau mungkin lebih dari itu?
Keesokan harinya, ketika sedang duduk di kelas sambil menunggu dosen datang, ponselku kembali bergetar. Aku melirik sebentar dan melihat pesan dari Rafif. Aku menahan senyum, sedikit malu mengingat pesan semalam.
Rafif:
"Morning, Aksara. Sudah siap menjalani hari ini?"
Aku mengetik cepat, sambil berusaha tidak menarik perhatian Nara yang duduk di sebelahku.
Aksara:
"Morning, Kak Rafif. Siap dong, walau agak ngantuk sedikit."
Rafif:
"Ngantuk? Jangan lupa sarapan ya. Energy boost di pagi itu penting, you know?"
Pesannya lagi-lagi membuatku tersenyum. Dia selalu penuh perhatian, dan entah kenapa setiap katanya terasa tulus. Aku mengetik balasan singkat, mencoba tidak terlihat terlalu antusias.
Aksara:
"Iya-iya, udah sarapan kok. Kamu sendiri gimana?"
Balasannya datang cukup cepat.
Rafif:
"Baguslah. Aku juga udah sarapan. Btw, lagi kepikiran buat latihan lagu yang kamu suka nih. Udah ada ide belum?"
Aku terdiam sebentar, menimbang-nimbang. Lagu favoritku kebanyakan mellow dan tenang, mungkin terlalu sentimentil untuk acara kampus. Tapi kalau Rafif yang memainkannya, mungkin akan berbeda.
Aksara:
"Kalau lagu mellow kira-kira cocok nggak buat acaranya? Aku suka lagu-lagu kayak "Until I Found You" gitu, tapi nggak tahu deh."
Rafif:
"Wow, that's a good one. Beneran suka lagu mellow ya? Hmm, kalau kamu suka, aku bisa bawain kok. Aku rasa akan tetap keren meski acaranya agak ramai."
Aku tersenyum sendiri, membayangkan Rafif menyanyikan lagu itu di depan banyak orang. Rasanya nggak sabar menunggu hari di mana aku bisa melihatnya tampil. Ada sesuatu yang berbeda dengan caranya memperlakukan aku, membuatku merasa spesial, meskipun mungkin hanya sekadar teman.
Dosen akhirnya datang, dan aku segera menyimpan ponselku, mencoba fokus pada kuliah hari itu. Tapi sepanjang hari, pikiranku terus berkelana ke acara Gebyar Kampus, dan bagaimana Rafif akan tampil di sana. Meski aku mencoba menyangkal, ada perasaan antusias yang tak bisa kusembunyikan.
Sore harinya, saat aku dan Nara duduk di taman kampus sambil menunggu waktu kelas berikutnya, aku menerima pesan lagi dari Rafif. Kali ini, pesannya sedikit lebih panjang.
Rafif:
"Aksara, aku mau ngomong sesuatu nih. Kamu tau nggak, dari pertama kali ketemu, aku merasa kamu tuh... beda. Kamu punya sesuatu yang nggak aku lihat di orang lain. Kamu pintar, punya cara sendiri dalam menghadapi masalah, dan aku salut banget sama kamu."
Aku membaca pesan itu berulang kali, merasa jantungku berdetak lebih cepat. Ada apa ini? Apa maksud dari pesan ini? Apakah dia sedang berusaha mengatakan sesuatu?
Nara yang duduk di sampingku langsung menyadari perubahan ekspresiku. "Eh, kenapa? Mukamu merah lagi. Dari Rafif ya?"
Aku hanya mengangguk pelan sambil menyerahkan ponselku ke Nara. Dia membaca pesan itu dengan cepat dan langsung menatapku dengan sorot mata penuh arti. "Astaga, Sar. Ini udah jelas banget. Dia suka sama kamu!"
Aku masih bingung harus merespons bagaimana. Perasaanku campur aduk antara senang, bingung, dan sedikit canggung. Aku mengetik balasan dengan hati-hati.
Aksara:
"Makasih, Kak. Aku nggak nyangka kamu bisa ngelihat aku seperti itu. Padahal aku biasa aja kok, nggak ada yang spesial."
Beberapa detik kemudian, Rafif membalas.
Rafif:
"Trust me, you're special. Kadang kita nggak sadar dengan hal-hal baik yang ada di diri kita, but others can see it clearly."
Pesan itu benar-benar menyentuh hatiku. Aku tidak pernah berpikir Rafif akan berkata seperti itu, apalagi kami tidak begitu dekat sebelumnya. Namun, semakin lama kami berinteraksi, semakin aku merasa nyaman dengan caranya berbicara, dengan perhatian-perhatian kecil yang ia tunjukkan.
"Jadi, gimana?" tanya Nara, suaranya bersemangat. "Mau balas apa lagi?"
Aku menatap ponselku sambil tersenyum kecil, berusaha merangkai kata-kata yang tepat.
"Entahlah, Nar. Mungkin... aku perlu waktu buat mikirin ini," jawabku pelan.
Nara tersenyum sambil menepuk pundakku. "Yang penting, kamu tau dia perhatian banget sama kamu. Tapi santai aja, semua ada waktunya."
Malam itu, aku kembali merenung, memikirkan pesan-pesan Rafif, dan perasaan yang mulai muncul di hatiku. Mungkin ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar, atau mungkin hanya sebatas rasa kagum. Tapi yang jelas, Rafif telah membuat hariku berbeda, dan aku tidak sabar menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...