Setelah percakapan yang cukup serius dengan Kak Rafif, aku memutuskan untuk mengajak Nara ke kantin. Hari yang absurd seperti ini jelas membutuhkan asupan makanan yang juga absurd.
"Ayo Nar, kita ke kantin aja. Udah lapar nih," ujarku sambil berdiri dan meregangkan tubuh.
Nara menatapku dengan ekspresi datar, lalu menunjuk dua bungkus makanan yang dia bawa. "Lah, aku udah bawa nih tadi."
Aku memandang bungkus makanan itu dengan tatapan curiga. "Apa itu? Nggak ada racunnya kan?"
Nara terkekeh kecil, "Jajan murah di kantin kampus, gimana mau ada racun? Mungkin cuma ada sedikit bahan kimia yang nggak bisa disebutin namanya sih."
Aku melotot. "Oh, jadi racun, tapi versi ekonomis gitu?"
Nara hanya tertawa dan membuka bungkus makanannya. "Tenang, ini aman. Paling kamu nanti cuma bakal ngerasa lebih pintar setelah makan."
Aku mengambil satu bungkus dan langsung membuka isinya. Ternyata isinya tahu goreng yang entah kenapa tampak sedikit kebakar.
"Nara... tahu apa ini? Tahu gosong?"
Dia mengangkat bahu seolah itu hal paling biasa di dunia. "Katanya, tahu gosong lebih banyak vitaminnya. Katanya loh ya."
"Siapa yang bilang?"
"Aku nggak tahu, tapi kayaknya ibu kantin pernah bilang pas aku beli tahu ini."
Aku menghela napas panjang. "Nar, kalau aku mati keracunan tahu ini, tolong bilang ke keluargaku kalau aku meninggal sebagai pahlawan yang mencoba tahu gosong dari kantin kampus."
"Tenang, kalau kamu mati, aku bakal bilang kamu mati karena tahu penuh antioksidan," jawab Nara dengan wajah datarnya yang khas, sambil dengan tenang menggigit sepotong tahu. Aku hanya bisa memandanginya sambil tertawa dalam hati.
Kami akhirnya duduk di salah satu meja kantin yang penuh dengan suasana heboh mahasiswa lain. Di tengah obrolan ringan tentang kuliah dan tugas yang menumpuk, tiba-tiba terdengar suara keras dari meja sebelah.
"Kamu lihat tugas ini, nggak masuk akal banget! Masa aku disuruh buat esai tentang pengaruh hujan terhadap mood orang?"
Aku dan Nara otomatis menoleh ke arah suara itu. Seorang mahasiswa dengan wajah kusut tengah mengeluhkan tugasnya kepada teman-temannya.
Nara melirikku dan dengan suara rendah berkata, "Kayaknya Kakak dosen kita juga suka tugas-tugas aneh gitu deh. Apa dia nyuruh kita nulis esai tentang 'Pengaruh Tahu Gosong Terhadap Kecerdasan'?"
Aku tersedak tawa mendengar komentar Nara yang tiba-tiba. "Jangan-jangan dosen kita lagi nonton sinetron dan tiba-tiba kepikiran tugas absurd gitu."
"Aku yakin dosen kita lagi makan tahu gosong, terus otaknya langsung 'cling' dan dia dapat ide buat kasih tugas absurd," balas Nara sambil menyodorkan sepotong tahu gosong ke arahku.
Kami berdua tertawa keras. Bahkan, mahasiswa di meja sebelah yang tadi mengeluhkan tugasnya, menoleh ke arah kami dengan ekspresi bingung, mungkin bertanya-tanya kenapa dua orang ini bisa begitu bahagia hanya karena tahu gosong.
"Kayaknya kita butuh tahu gosong buat meningkatkan IQ ya?" Nara melanjutkan, masih sambil tertawa.
Aku mengangguk sambil menahan tawa. "Bisa jadi. Besok kita jual tahu gosong di depan kelas, tulis aja 'Makan Ini Biar Cerdas'."
"Ya, terus kita tambahin tulisan kecil di bawahnya 'Hasil Tidak Dijamin'," tambah Nara sambil tertawa.
Obrolan kami terus bergulir dengan humor-humor aneh seputar tahu gosong, tugas-tugas aneh, dan kelakuan mahasiswa yang terkadang lebih absurd dari drama yang pernah aku tonton. Sampai akhirnya, perutku mulai sakit karena terlalu banyak tertawa.
"Kita bisa buka bisnis nih," kataku sambil menahan perutku yang mulai keram. "Jualan tahu gosong dan jasa bikin esai absurd."
Nara mengangguk dengan penuh semangat. "Iya! Kita bisa jadi kaya dari tugas-tugas nggak masuk akal."
Namun, sebelum kami sempat melanjutkan obrolan gila itu, tiba-tiba suara keras dari pengeras suara kantin membuat kami tersentak.
"Perhatian, perhatian! Kepada mahasiswa yang tadi memesan tahu goreng, mohon maaf, tahunya ada yang sedikit gosong. Harap maklum, minyaknya tadi terlalu panas."
Aku dan Nara langsung tertawa keras lagi. Ternyata tahu gosong ini memang benar-benar tidak direncanakan.
"Gimana, masih yakin mau jualan tahu gosong?" tanya Nara sambil menahan tawa.
Aku hanya bisa menggeleng, masih tertawa keras. "Kayaknya enggak deh, aku nggak mau dipanggil 'Aksara Si Penjual Tahu Gosong' seumur hidup."
Setelah kejadian tahu gosong itu, kami akhirnya menyudahi makan siang penuh tawa ini. Meski hari ini dimulai dengan kekacauan dan pikiran yang kusut, pada akhirnya, bersama Nara, tawa selalu bisa ditemukan, bahkan di antara riuh semesta yang kacau ini.
Hari itu akhirnya ditutup dengan perasaan yang lebih ringan. Mungkin memang hidup di kampus ini penuh kekacauan, tapi selama ada tawa bersama teman-teman, semua terasa jauh lebih mudah dihadapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...