15.

36 20 2
                                    

Selesai makan di kantin, Nara mengajakku kembali ke kosnya. Hari sudah sore, dan aku memang butuh tempat tenang untuk merenung dan menjernihkan pikiran. Kami berdua berjalan pelan sambil ngobrol ringan tentang kuliah dan gosip kampus.

Setelah sampai di kos Nara, kami mengobrol sebentar di kamarnya, sebelum akhirnya aku pamit pulang. "Besok ketemu lagi di kampus, Nar," ucapku sambil tersenyum.

Nara mengangguk sambil melambaikan tangan, "Jangan terlalu dipikirin soal Hima, ya. Ingat, kamu tuh pion kuda."

Aku tertawa kecil mengingat candaan tadi di kantin. "Iya-iya, kuda siap tempur!" jawabku sebelum melangkah pergi.

Sesampainya di kos, aku membuka pintu kamarku dan langsung merebahkan diri di kasur. Rasanya lelah sekali hari ini, tapi aku merasa sedikit lebih baik. Aku baru saja ingin tidur ketika ponselku berbunyi, menandakan ada pesan masuk.

Aku mengerutkan kening saat melihat nomor asing mengirimkan pesan.

"Hey, Aksara. Ini aku, Rafif. Dapet nomor kamu dari teman kita yang kebetulan tau. Hope you don't mind."

Aku kaget, bukan karena Rafif tahu nomorku, tapi karena dia memutuskan untuk menghubungiku. Rasanya seperti mimpi aneh. Bagaimana bisa Rafif tiba-tiba muncul di ponselku?

Sebelum aku sempat merenung lebih jauh, pesannya muncul lagi.

"Sorry kalau tiba-tiba nge-chat, tapi aku cuma mau ngecek, kamu baik-baik aja, kan? Gaada masalah lagi kan di Hima?"

Aku terdiam sejenak, merasa terkejut dengan perhatiannya. Kurasakan pipiku sedikit memanas, tapi berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Aku membalas dengan cepat.

"Haha, iya, aku baik-baik aja kok."

Balasanku tak lama langsung dijawab olehnya.

"Yah, jangan terlalu dipikirin ya. Kadang orang tuh suka cari masalah kecil buat dibesar-besarin. You're doing great, trust me."

Rasanya seperti membaca pesan dari seseorang yang benar-benar tahu bagaimana membuatmu merasa nyaman. Rafif memang selalu punya cara untuk berbicara dengan lembut dan penuh perhatian. Meski aku belum terlalu dekat dengannya, aku bisa merasakan bahwa dia berbeda dari kebanyakan orang. Sosok yang tenang dan perhatian, tipe yang mudah disukai oleh siapa saja.

Setelah beberapa saat mengobrol random, Rafif tiba-tiba mengubah topik.

"Oh iya, ngomong-ngomong, aku mau kasih tau sesuatu nih. Minggu depan ada acara Gebyar Kampus, dan aku bakal tampil di sana."

Aku agak terkejut mendengar itu. "Tampil? Main apa?"

"Aku bakal main gitar. Sederhana aja sih, cuma perform kecil-kecilan. Tapi aku udah lama nggak tampil, jadi lumayan deg-degan juga."

Aku tersenyum sendiri membaca pesan itu, membayangkan Rafif di atas panggung, memainkan gitarnya dengan tenang dan penuh pesona. Tiba-tiba, aku merasa sedikit lebih tertarik dengan acara Gebyar Kampus yang sebelumnya tidak terlalu kupedulikan.

"Wah, keren! Aku pasti nonton deh," balasku antusias.

Rafif merespons dengan cepat. "Serius? Wah, asik dong kalau kamu nonton. Aku pasti jadi lebih percaya diri, hehe."

Aku bisa membayangkan dia mengetik dengan senyum di wajahnya. Sesuatu tentang cara dia berbicara begitu perhatian, sopan, dan tulus membuatku merasa nyaman. Dia tidak berusaha membuat kesan yang berlebihan, tapi justru itulah yang membuatnya begitu menarik.

"Tenang aja, aku bakal bawa rombongan untuk support kamu!" balasku dengan nada bercanda.

Rafif tertawa dalam pesannya. "Haha, asik-asik. Siap, Kakak Aksara yang selalu mendukung."

Aku tertawa kecil sendiri. Sungguh, obrolan ini membuat suasana hatiku jauh lebih baik dari yang kukira. Setelah obrolan berakhir, aku menaruh ponselku di samping dan menatap langit-langit kamar. Entah kenapa, sekarang aku tidak hanya memikirkan masalah di Hima dan tugas-tugas yang menumpuk, tetapi juga tentang Rafif yang akan tampil di panggung nanti.

Malam itu, aku tidur dengan perasaan yang lebih ringan dan senyum yang tak hilang dari wajahku.

Gema Asa di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang