Hari itu rasanya seperti biasa, tapi kali ini Nara sudah memulai dengan penuh semangat sebelum kelas dimulai.
"Eh, kalian tahu nggak?" Nara memulai dengan ekspresi serius-terlalu serius untuk seseorang yang sering berlebihan. "Aku tadi ke kantin lagi sebelum ke kelas. Dan kamu tahu apa yang terjadi? Bukan hanya aku dapat nasi goreng, tapi aku dapat... bonus telur dadar!"
Aku dan Geisha menatapnya dengan tatapan bingung.
"Dan... itu maksudnya apa, Nar?" tanya Geisha pelan.
"Aku merasa ini adalah takdir! Mungkin, hidupku di kampus ini bakal sukses besar karena aku sekarang sah diakui sebagai anak kantin." Nara membusungkan dadanya bangga, seakan telur dadar itu adalah penghargaan bergengsi dari universitas.
Geisha menepuk jidatnya, "Nara, serius deh, yang lebih penting tuh nilai mata kuliah, bukan jumlah telur dadar yang kamu dapat."
Tiba-tiba Nara menatapku, "Aksara, kamu dapet apa hari ini?"
Aku bingung sejenak. "Ehm... dapet kelas pagi?"
"Astaga, Aksara! Itu tanda buruk!" Nara berdiri dari kursinya, membuat beberapa mahasiswa menoleh heran. "Kamu tahu nggak, kelas pagi itu... adalah jebakan sistematis!"
Aku dan Geisha saling menatap, lalu tertawa kecil. "Jebakan sistematis dari mana, Nar?"
"Ya jelas dari kampus, dong! Mereka tahu mahasiswa bakal ngantuk, makanya sengaja naro dosen killer di pagi hari! Ini rencana licik!" Nara bersungut-sungut sambil berkacak pinggang.
"Kamu kayaknya butuh lebih banyak tidur, Nar," kata Geisha datar, "atau mungkin... kurang kopi?"
Seolah mendapat wahyu, mata Nara membelalak lebar. "Itu dia! Aku belum minum kopi hari ini! Makanya logikaku kacau!"
"Nggak, Nara, itu logikamu memang kacau dari awal," jawabku sambil tertawa.
Kelas pun dimulai dengan dosen masuk. Kami semua terdiam, termasuk Nara yang biasanya ribut, hanya bisa menunduk karena dosennya memang terlihat... yah, tegas. Tapi masalahnya bukan di situ.
Di tengah-tengah kuliah, tiba-tiba suara keras terdengar dari tas Nara.
Gleeeng!
Semua orang, termasuk dosen, menoleh. Nara yang kaget buru-buru membuka tasnya, dan dari dalam keluarlah... panci kecil.
Aku dan Geisha langsung menutup mulut menahan tawa, tapi aku bisa merasakan air mata mulai menetes saking kerasnya menahan tawa.
"Nara, kenapa ada panci di tasmu?" bisik Geisha sambil tercekik.
Nara menunduk dengan wajah memerah. "Aku... bawa panci buat masak mi instan di kosan tadi pagi, terus lupa ngeluarin..."
Dosen hanya memandangi kami dengan tatapan tajam, tapi nggak berkata apa-apa. Aku hampir yakin dosen itu menahan tawa juga.
Setelah kelas selesai, Nara akhirnya bisa bernapas lega. "Itu tadi hampir jadi momen memalukan yang epik."
Geisha menggelengkan kepala. "Nar, itu sudah jadi momen memalukan yang epik."
Tapi Nara, seperti biasa, malah tersenyum lebar. "Yah, paling nggak aku masih punya telur dadar bonus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...