Hari itu aku, Nara, dan Geisha masih berada di perpustakaan setelah kelas selesai. Suasana sepi, hanya suara lembaran buku yang terdengar sesekali. Kami duduk di meja panjang, dengan setumpuk buku di depan masing-masing. Sementara Nara sibuk dengan buku resep yang entah kenapa selalu menarik perhatiannya, Geisha terlihat serius membaca buku tebal tentang linguistik.
"Aku penasaran," gumam Nara sambil menunjuk sebuah gambar donat di bukunya. "Kenapa kampus nggak ada kelas praktek bikin donat aja? Pasti lebih menyenangkan daripada harus baca buku setebal ini."
Geisha menggeleng, jelas tak tertarik menanggapi candaan Nara. Aku tertawa kecil, tapi sebelum sempat berkata apa-apa, tiba-tiba seseorang menghampiri meja kami.
"Hei, kalian butuh tempat lagi nggak?" Suara laki-laki terdengar di belakangku.
Aku menoleh, dan di hadapanku berdiri seorang cowok dengan tas selempang dan buku-buku tebal di tangan. Wajahnya ramah, dengan senyum yang sedikit malu-malu.
"Oh, maaf, meja ini masih kosong kok," kataku sambil memindahkan buku-buku kami sedikit ke samping, memberinya ruang.
"Terima kasih," jawabnya sebelum duduk di kursi di seberangku. Dia membuka satu buku dan mulai membaca, tapi sesekali matanya melirik ke arah kami.
"Aksara, kan?" tanyanya tiba-tiba. "Aku Rafif, jurusan Sastra Inggris, semester lima."
Aku terkejut dia tahu namaku. "Oh, iya. Kok kamu tahu?"
Dia tersenyum kecil. "Aku pernah lihat kamu di kantin sama Kak Sari. Dia temanku, sering banget belajar bareng di sini."
"Oh, Kak Sari yang kenalin ya," gumamku, merasa sedikit canggung.
"Dia cerita tentang kamu. Katanya, kamu anak baru yang suka baca sastra?" tanya Rafif, nada suaranya lebih ramah daripada sebelumnya.
Aku tersenyum, merasa sedikit lebih nyaman. "Iya, aku suka sastra, tapi jurusanku Pendidikan Bahasa."
Rafif mengangguk. "Bagus, sastra itu jendela dunia. Apalagi bahasa Indonesia, kaya banget karya-karya bagus."
Geisha, yang duduk di sebelahku, tiba-tiba menyikutku pelan, membuatku sadar kalau aku dan Rafif sudah mulai diskusi panjang sementara Nara sibuk dengan dunia donatnya. "Aksara, kayaknya kita nggak dibutuhin di sini, ya," gumamnya setengah bercanda.
Aku tertawa kecil, sementara Rafif hanya tersenyum. "Kamu udah semester lima, ya? Gimana rasanya kuliah di Sastra Inggris?" tanyaku, mencoba mengganti topik.
"Cukup menantang, tapi menyenangkan," jawab Rafif. "Tiap semester ada aja proyek yang bikin tidur cuma jadi bonus. Tapi ya, makin lama makin terbiasa. Kamu sendiri, baru mulai kuliah pasti masih adaptasi, kan?"
Aku mengangguk. "Iya, agak kewalahan di awal. Banyak hal yang harus dipelajari dan suasana kota ini juga beda banget sama kampungku."
Rafif tertawa kecil. "Aku ngerti. Aku juga berasal dari kota kecil. Perpindahan ke kota besar selalu bikin kaget. Tapi jangan khawatir, lama-lama kamu bakal nemuin ritme kamu sendiri."
Diskusi kami terus berlanjut, entah bagaimana kami bisa berpindah dari topik sastra sampai kehidupan kota besar. Rafif punya cara bicara yang tenang, membuatku nyaman mengobrol dengannya. Dia bercerita banyak tentang pengalamannya di kampus, bagaimana dia menghabiskan banyak waktu di perpustakaan, dan bagaimana dia mulai menulis cerpen di sela-sela tugas kuliahnya.
"Tapi, aku masih belum puas sama karya-karyaku," kata Rafif sambil memandangi bukunya. "Kadang, aku merasa apa yang kutulis belum bisa benar-benar menggambarkan perasaan yang ingin kusampaikan."
Aku mengerti perasaannya. "Mungkin itu yang bikin menulis jadi menarik. Kita selalu merasa ada yang kurang, dan itu yang bikin kita terus mencoba memperbaiki diri."
Rafif tersenyum, kali ini lebih lebar. "Benar juga. Mungkin itulah kenapa kita semua belajar. Buat jadi lebih baik, meskipun perjalanan itu nggak pernah selesai."
Saat diskusi kami semakin mendalam, tiba-tiba Nara menutup bukunya dengan keras dan berseru, "Aksara, tolong dong, aku udah capek dengerin kamu berfilosofi. Aku mau donat!"
Kami semua tertawa. Bahkan Rafif, yang tadinya serius, ikut tertawa melihat tingkah Nara.
"Baiklah, sepertinya diskusi ini harus ditunda dulu," kata Rafif sambil mengemas bukunya. "Lain kali kita lanjut ngobrol lagi, Aksara. Senang bisa kenalan."
Aku tersenyum, merasa perasaan aneh menggelitik di dalam diriku. "Sama-sama, Rafif. Sampai jumpa."
Setelah Rafif pergi, Geisha menatapku dengan tatapan penuh arti. "Wah, Aksara, kamu baru kenal tapi udah nyambung aja diskusinya. Keren banget."
Aku menggeleng, merasa pipiku memanas. "Ah, nggak. Kami cuma ngobrol soal sastra."
Geisha tertawa kecil. "Ya, ya, kita lihat aja nanti."
Dan saat kami berjalan keluar dari perpustakaan, aku menyadari bahwa mungkin, pertemuan dengan Rafif akan membawa warna baru dalam kehidupanku di kampus ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Подростковая литератураAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...