Aksara duduk diam dalam pelukan Nara, merasakan kehangatan sahabatnya yang selalu ada di saat-saat sulit. Meskipun pelukan itu memberikan sedikit ketenangan, perasaan gundah di dalam hati Aksara belum sepenuhnya reda. Pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Rafif, oleh pesan singkat tanpa penjelasan, dan oleh bayangan Clarissa yang terus menghantui.
Setelah beberapa saat, Nara melepaskan pelukannya, duduk di sebelah Aksara sambil memandang hujan yang masih terus turun di luar jendela.
“Aku gak ngerti, Nar. Apa yang sebenarnya terjadi?” Aksara berbisik, lebih kepada dirinya sendiri. “Kenapa dia gak bisa ngomong langsung ke aku? Kenapa harus ngilang tanpa jejak, dan cuma ninggalin pesan sependek itu?”
Nara menghela napas panjang. “Aku juga gak tahu, Ra... Tapi, kalau aku kenal Rafif, dia bukan tipe cowok yang bakal ninggalin kamu tanpa alasan.”
“Tapi sebulan, Nar. Sebulan dia gak ada kabar. Sementara orang-orang kampus udah mulai bisik-bisik soal Clarissa...” Aksara menunduk, menahan air matanya yang hampir jatuh lagi. “Aku merasa bodoh, percaya sama dia selama ini.”
Nara menggenggam tangan Aksara erat, memberikan dukungan dalam diam. “Kamu gak bodoh, Ra. Kamu cuma lagi bingung karena gak dapat penjelasan. Tapi, jangan terlalu cepat ambil kesimpulan. Kita belum tahu yang sebenarnya terjadi.”
Aksara menatap tangan Nara yang menggenggamnya, lalu berbisik, “Aku bahkan gak tahu apa aku masih bisa percaya sama dia...”
Nara terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Kamu masih sayang sama dia, kan?”
Aksara menutup matanya, mencoba menahan emosi yang menggelegak dalam dirinya. “Aku sayang... Tapi kalau dia beneran sama Clarissa? Kalau gosip itu bener?”
Nara menatap Aksara dengan penuh pengertian. “Ra, kamu berhak tahu kebenarannya. Tapi kamu juga harus siap dengan apapun jawabannya. Entah itu dari dia... atau dari orang lain.”
Aksara mengangguk pelan, matanya kembali memandang keluar jendela. Hujan masih turun deras, seakan mencerminkan kekacauan yang terjadi dalam hatinya. Rafif adalah bagian dari hidupnya yang paling berarti, namun sekarang, dengan segala kebingungan dan ketidakpastian ini, ia tak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan.
Nara berdiri, kemudian menatap Aksara. “Ra, aku di sini buat kamu, apapun yang terjadi. Kalau kamu butuh aku, aku akan selalu ada.”
Aksara hanya bisa tersenyum kecil, meski di dalam hatinya, rasa sakit itu masih mendalam. “Terima kasih, Nar...”
Nara mengangguk sebelum berjalan menuju pintu. “Istirahat ya, Ra. Jangan terlalu banyak mikirin hal yang belum pasti. Kita bakal cari tahu bareng-bareng.”
Saat Nara pergi, Aksara kembali menatap langit kelam di luar jendela, hujan yang semakin deras, dan ingatan tentang Rafif yang terus berputar di kepalanya. Ia tahu, ia tak bisa selamanya menggantungkan harapan pada bayangan, namun saat ini, ia hanya ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...