Hari itu berlalu dengan cepat. Setelah obrolanku dengan Kak Sari di kedai kopi, aku merasa sedikit lebih bersemangat. Saat tiba di kampus Universitas Madya Nusantara untuk kuliah perdana, suasananya masih terasa asing. Semua orang tampak sibuk dengan urusan masing-masing, dan aku berjalan menuju kelas dengan sedikit gugup.
Di kelas, aku mengambil tempat duduk di barisan tengah. Aku tidak ingin terlalu mencolok di depan, tapi juga tidak mau tampak seperti yang paling belakang. Setelah beberapa menit menunggu, seorang gadis duduk di sebelahku. Dia mengenakan kacamata besar dan membawa tas penuh buku.
"Hai!" katanya dengan nada ceria, membuatku sedikit terkejut. "Nama kamu siapa?"
"Oh, aku Aksara," jawabku sambil tersenyum canggung.
"Aku Nara. Eh, kamu jurusan Pendidikan Bahasa juga, kan? Aku perhatiin kita sering bareng di mata kuliah yang sama," katanya dengan cepat.
Aku hanya mengangguk, agak bingung dengan caranya berbicara yang sangat cepat dan penuh semangat. Sebelum sempat bertanya lebih lanjut, seorang gadis lain tiba-tiba duduk di sebelah Nara. Dia memiliki rambut panjang yang diikat rapi, dan wajahnya tampak serius, tapi ekspresinya berubah saat dia melihat kami.
"Eh, kalian baru kenal, ya? Aku Geisha," katanya, memperkenalkan diri sambil tersenyum tipis.
Kami pun mulai berbincang-bincang kecil. Ternyata, Nara adalah tipe orang yang tidak bisa diam. Dia terus mengoceh tentang segala hal, dari dosen yang katanya "nyebelin banget" sampai pilihan makan siang di kantin yang menurutnya "terlalu banyak pilihan sampai bikin bingung."
"Serius deh, kantin kampus ini tuh kayak labirin makanan," kata Nara sambil melambaikan tangan dengan dramatis. "Mau beli nasi goreng aja, harus ngelewatin tiga gerobak bakso dan dua stand roti bakar dulu!"
Geisha, yang tampak lebih tenang, hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. "Nara, kamu lebay banget. Itu karena kamu enggak mau fokus aja."
"Fokus gimana?" Nara melanjutkan, matanya melebar seakan-akan dia baru saja menemukan sesuatu yang penting. "Kamu tau gak? Hari pertama aku ke kantin, aku malah pulang bawa donat! Padahal niatnya beli nasi!"
Aku dan Geisha tertawa mendengar cerita Nara. Di tengah tawa, aku merasa kelegaan yang tak terduga. Ternyata, memiliki teman-teman yang bisa membuatku tertawa adalah sesuatu yang sangat aku butuhkan.
"Eh, Aksara," Nara tiba-tiba berbisik dengan nada serius. "Kamu tahu gak, katanya dosen kita yang nanti ngajar ini killer banget. Aku dengar dia pernah bikin mahasiswa nangis cuma karena salah jawab pertanyaan."
Aku tertegun sejenak. "Serius?"
Geisha menyikut Nara pelan. "Udah deh, jangan nakut-nakutin. Dosen itu cuma tegas, bukan killer."
"Apa bedanya coba?" jawab Nara dengan wajah polos. "Tegas dan killer itu, kayak... saudara kembar."
Kami tertawa lagi.
Selama kelas berlangsung, meskipun dosen memang tampak serius, suasana kelas tidak seburuk yang dibayangkan Nara. Ternyata, rasa gugupku perlahan memudar dengan adanya Nara dan Geisha. Mereka berdua, dengan kepribadian yang sangat berbeda, mulai membuat hari-hariku di kampus lebih berwarna.
Setelah kelas selesai, Nara mengajak kami ke kantin. Kali ini, dia bertekad untuk menemukan nasi goreng yang gagal dibelinya kemarin.
"Kalau hari ini aku enggak dapet nasi goreng juga, aku bakal protes sama kampus ini," katanya dengan nada penuh drama, membuat aku dan Geisha tertawa lagi.
Ternyata, punya teman di kota baru ini tidak terlalu buruk. Meski kami baru bertemu, rasanya aku sudah bisa melihat kami bertiga akan menjadi sahabat dekat. Bahkan, dengan segala kehebohan Nara dan ketenangan Geisha, mungkin aku bisa bertahan di tengah kerasnya kehidupan kampus.
Dan hari itu, Nara akhirnya berhasil membeli nasi goreng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...