Setelah Nara keluar dari kamar, Aksara kembali duduk di tepi jendela, membiarkan pikirannya larut dalam suara hujan. Setiap tetesan yang menghantam kaca terasa seperti gema dari hatinya yang hancur berkeping-keping. Dalam kesendirian yang tiba-tiba begitu menghimpit, Aksara merasa seperti tenggelam dalam rasa sakit yang tak terkatakan.
Dia mencoba mengingat semua momen bahagia yang pernah dia lewati bersama Rafif, tawa mereka, obrolan ringan tentang mimpi-mimpi masa depan, dan janji-janji yang kini terasa hampa. Namun semakin dia mencoba menggenggam kenangan itu, semakin kabur semuanya. Kenyataan yang ada di hadapannya jauh lebih kelam dan sulit dipahami.
Rafif yang selalu ada untuknya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Dan kini, dengan gosip tentang Clarissa yang beredar di kampus, Aksara semakin terjebak dalam lingkaran ketidakpastian. Apakah gosip itu benar? Apakah Rafif benar-benar mengkhianati kepercayaannya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, membuatnya tak bisa tenang.
Tangannya tergerak untuk mengambil ponsel yang ada di samping tempat tidur. Jarinya bergerak lincah membuka aplikasi pesan, kembali menatap percakapan terakhir dengan Rafif yang hanya berisi satu kalimat singkat: "Maafin aku, Aksara."
Itu saja. Hanya itu yang Rafif katakan setelah sebulan menghilang tanpa kabar. Aksara menghela napas panjang, menahan desakan air mata yang kembali mengalir.
Dia mengetik pesan dengan penuh emosi.
Ra: Apa benar, Rafif? Apa gosip itu benar?
Tak ada balasan.
Ra: Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu ninggalin aku tanpa penjelasan?
Pesannya hanya terbaca, namun tetap tak ada jawaban. Hatinya semakin tercabik-cabik oleh kesunyian dari seberang layar. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam pecah.
Aksara kembali mengetik, kali ini dengan penuh kemarahan yang tak bisa lagi dia tahan.
Ra: Kamu kejam, Rafif. Kamu benar-benar kejam. Apa kamu tahu seberapa hancurnya aku sekarang? Apa kamu pernah peduli sama perasaan aku?
Tak ada balasan. Hanya keheningan.
Sambil gemetar, Aksara melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur. Hatinya bergejolak, dipenuhi oleh rasa sakit, marah, dan kesedihan yang membaur menjadi satu. Ia merasa terjebak dalam perangkap emosinya sendiri, tak tahu bagaimana caranya keluar dari kegelapan yang terus menghimpit.
Setelah beberapa saat, dia kembali memandang keluar jendela. Hujan belum juga reda, dan di luar sana, jalanan semakin basah oleh derasnya air. Tiba-tiba, sebuah bayangan dari masa lalu melintas di pikirannya, momen di mana Rafif selalu datang membawakan makanan kesukaannya, tanpa peduli bagaimana cuacanya.
Tapi kali ini berbeda. Kali ini, bayangan itu terasa seperti lelucon kejam yang menghantui pikirannya. Rafif yang seharusnya menjadi pelindungnya kini terasa seperti orang asing yang menghancurkan semua yang pernah mereka bangun bersama.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Rafif? Kenapa kamu harus pergi seperti ini?” gumam Aksara pada dirinya sendiri, matanya masih memandang keluar jendela dengan tatapan hampa.
Dia kemudian berdiri dan berjalan menuju meja kecil di sudut kamar. Di atasnya, ada sebuah buku catatan yang selalu dia gunakan untuk menulis puisi. Setiap kali hatinya merasa kacau, dia akan menuangkan perasaannya ke dalam tulisan, berharap bisa menemukan kedamaian di antara kata-kata yang tercipta.
Dengan tangan yang gemetar, Aksara membuka halaman kosong dan mulai menulis.
"Di balik rintik hujan, aku menunggu Menanti jawaban yang tak pernah datang Rasa yang dulu hangat kini membeku Dan semua kenangan hanya bayang-bayang
Kau bilang akan selalu ada Namun di saat aku paling butuh, kau pergi Tak satu pun kata, tak satu pun suara Hanya sunyi yang kini mengisi ruang hati
Apakah kau lupa akan janji? Atau semua ini hanya permainan waktu? Yang pasti, aku di sini, terjebak dalam mimpi Yang perlahan berubah menjadi debu.
Sementara hujan terus turun Menenggelamkan setiap perasaan yang pernah ada Aku mencoba bertahan, namun rindu terlalu dalam Dan kamu, kamu terlalu jauh untuk kugapai."
Setelah selesai menulis, Aksara menutup buku catatannya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Dia menarik napas dalam-dalam, berharap perasaan sesak yang menyesakkan dadanya bisa sedikit mereda.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka perlahan. Nara kembali masuk tanpa suara, kali ini dengan raut wajah yang lebih lembut. Dia langsung menghampiri Aksara dan memeluknya erat, tanpa berkata apa-apa. Hanya pelukan hangat yang ia berikan, cukup untuk membuat Aksara merasa sedikit lebih tenang.
Nara tak perlu berkata banyak. Dia tahu, dalam situasi seperti ini, yang dibutuhkan Aksara bukanlah kata-kata, melainkan kehadiran seorang sahabat yang bisa menjadi tempat bersandar.
“Ra, semuanya akan baik-baik saja, percayalah,” bisik Nara dengan lembut, menepuk pelan bahu Aksara.
Aksara hanya bisa mengangguk, walau dalam hatinya, dia masih meragukan apakah semua ini akan benar-benar berakhir dengan baik. Hujan di luar jendela masih terus turun, seakan tak pernah lelah mengguyur bumi. Dan Aksara, duduk dalam pelukan sahabatnya, merasa seperti dirinya terjebak dalam badai yang tak kunjung reda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...