16.

25 20 0
                                    

Keesokan harinya, pagi terasa lebih cerah dari biasanya. Aku bangun dengan semangat, meski tak ada yang berbeda selain bayangan tentang Rafif yang terus menghantui pikiranku. Rasanya obrolan semalam membuatku tersenyum sendiri sepanjang pagi. Sambil bersiap-siap ke kampus, aku masih memikirkan acara Gebyar Kampus minggu depan. Tiba-tiba, aku jadi sangat penasaran ingin melihat Rafif tampil dengan gitarnya.

Sesampainya di kampus, aku segera bertemu Nara di depan kelas. Dia melambai dan tersenyum lebar seperti biasa.

"Aduh, cerah banget nih kayaknya, ada apa nih? Habis dapat pesan dari si 'pion kuda' atau ada kabar baru?" tanyanya sambil mengedipkan mata, nada suaranya jelas menggoda.

Aku menggeleng sambil menahan senyum, "Nggak ada apa-apa, Nar. Cuma semalam... ada yang nge-chat aku."

Nara langsung mengangkat alis penuh minat. "Siapa? Siapa? Eh jangan bilang... jangan bilang... Rafif?"

Aku langsung menunduk, nggak sanggup menatap mata Nara yang tajam seperti detektif. "Ya, mungkin."

"HAH! Aku tau! Kok bisaaa?!" Nara setengah berteriak, untungnya suara bising di sekitar kampus sedikit menutupi kehebohannya. "Cepetan cerita! Apa yang dia bilang?"

Aku akhirnya menyerah dan menceritakan tentang pesan dari Rafif, dari mulai perhatian soal Hima sampai dia bilang akan tampil di acara Gebyar Kampus. Nara mendengarkan dengan seksama, sesekali tersenyum lebar, dan mengangguk-angguk penuh antusias.

"Astaga, ini sudah level lain, Sar! Kalau cowok udah mulai soft-soft gitu, itu tandanya... dia suka sama kamu!" Nara berbicara setengah berbisik sambil tersenyum jahil.

Aku tertawa kecil, "Nggaklah, dia cuma ramah aja. Lagian, mungkin dia cuma butuh dukungan buat tampil nanti."

Nara menatapku penuh dengan tatapan 'nggak percaya'. "Ramah? Iya, kalau ramah, tapi soft spoken banget gitu? Udah jelas lah, dia peduli sama kamu lebih dari sekadar teman biasa."

Aku hanya bisa menggeleng dan tertawa kecil, berusaha tidak terlalu terbawa perasaan. "Ya udah, kita lihat aja nanti."

Hari itu berlalu dengan cepat. Di setiap waktu kosong, aku selalu melirik ponselku, berharap ada pesan baru dari Rafif. Rasanya lucu, karena biasanya aku nggak pernah terlalu peduli dengan hal-hal seperti ini. Tapi sekarang, perasaan ini sulit diabaikan.

Sore harinya, aku dan Nara kembali ke kantin untuk makan ringan. Kami duduk di pojokan sambil menikmati es teh manis. Sambil mengaduk minumanku, aku merasa ponselku bergetar. Pesan dari Rafif lagi.

Rafif:
"Hey, Aksara. Gimana harimu? Sibuk?"

Aku tersenyum kecil. Nara yang duduk di depanku langsung menatap curiga, "Dari siapa tuh? Dari si Rafif ya?" tanyanya penuh semangat.

Aku hanya tersenyum sambil mengetik balasan.

Aksara:
"Haha, nggak juga. Lagi santai di kantin bareng Nara. Kamu gimana?"

Nara mendekatkan wajahnya, mencoba melihat isi ponselku, tapi aku segera menariknya menjauh. "Ini private, Nar!"

Dia langsung mengerucutkan bibirnya, "Ih, pelit banget, padahal aku mau bantu kasih saran loh."

Rafif:
"Aku juga lagi santai. Eh, mau nanya nih. Kamu suka lagu apa? Mungkin aku bisa bawain pas di acara nanti."

Jantungku sedikit berdebar membaca pesan itu. Dia serius mau nyanyi lagu yang aku suka?

Aksara:
"Hmm, aku suka lagu-lagu yang mellow sih, tapi kayaknya nggak cocok buat acara nanti, deh."

Rafif:
"Nggak masalah kok. Anything for you :)"

Aku membelalakkan mata. Wah, ini beneran flirting atau aku yang terlalu baper? Aku balas dengan cepat.

Aksara:
"Haha, kamu serius banget ya, Kak."

Nara tiba-tiba menyenggol lenganku dengan keras. "Kenapa pipimu merah? Hayo, apa yang dia bilang?"

Aku mencoba menyembunyikan wajahku dengan tangan, tapi tetap saja Nara tertawa keras melihat reaksiku. "Udah-udah, aku nggak baper!" jawabku cepat.

Hari itu, obrolan singkat dengan Rafif kembali menghidupkan hariku. Aku dan Nara terus bercanda sepanjang sore, tapi di sela-sela tawa itu, aku tahu satu hal, aku mulai menantikan hari-hari berikutnya dengan perasaan yang lebih hangat.

Gema Asa di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang