Keesokan paginya, setelah berusaha tidur di tengah kegelisahan yang menghantui malam sebelumnya, aku memutuskan untuk kembali ke kedai kopi kecil yang kutemukan kemarin. Ada sesuatu tentang tempat itu yang membuatku merasa sedikit lebih tenang, seolah-olah aku bisa mengamati hiruk-pikuk kota dari balik kaca tanpa benar-benar terlibat di dalamnya.
Setibanya di kedai, suara lonceng di pintu masuk menyambutku. Pagi ini lebih sepi dibandingkan kemarin sore, hanya ada beberapa pelanggan yang duduk di meja masing-masing. Aku berjalan ke konter, dan barista yang kemarin menyapaku dengan senyuman ramah yang sama.
"Kopi hitam lagi?" tanya si barista, seorang perempuan muda berambut pendek yang tampak selalu ceria. Namanya Laila, jika kulihat dari nametag yang tersemat di dadanya.
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Iya, kopi hitam. Rasanya kemarin enak."
Laila mengangguk dan mulai meracik pesananku. "Kamu mahasiswa baru, ya? Kayaknya belum pernah lihat kamu di sini sebelumnya."
Aku terdiam sejenak, merasa sedikit canggung karena ketahuan sebagai pendatang baru. "Iya, baru mulai kemarin. Hari ini kelas pertama."
Laila mengangkat alis, tampak terkesan. "Wah, selamat! Gimana rasanya hari pertama di kota besar?"
Aku menghela napas sambil tertawa kecil. "Masih aneh. Semuanya terasa... besar dan sibuk. Jauh berbeda dari tempat asalku."
Dia tersenyum hangat. "Biasa, kok. Aku dulu juga begitu. Lama-lama kamu akan terbiasa. Eh, ngampus di mana?"
"Universitas Madya Nusantara," jawabku. "Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia."
"Ah, keren! Aku suka baca, tapi nggak jago nulis," katanya sambil tertawa kecil. "Pasti kamu banyak baca buku, ya?"
Aku mengangguk lagi. "Iya, lumayan. Aku suka sastra. Lagi coba cari tempat yang nyaman buat baca dan nulis."
Laila meletakkan secangkir kopi hitam di depanku dan tersenyum lebar. "Nah, kedai ini tempat yang pas. Kamu bisa datang kapan aja. Biasanya sih ramai sore, tapi kalau pagi kayak gini lebih tenang. Cocok buat baca."
"Terima kasih," kataku sambil menerima cangkir kopi. Rasanya ada sedikit beban yang terangkat setelah berbicara dengan seseorang. Meski hanya percakapan ringan, setidaknya aku merasa tidak terlalu sendirian di kota yang asing ini.
Aku mengambil tempat duduk di dekat jendela, tempat yang sama seperti kemarin. Sambil menatap orang-orang yang berlalu lalang di luar, aku mengeluarkan jurnal dari tas dan mulai menulis. Pikiranku masih dipenuhi oleh kekhawatiran tentang bagaimana aku akan menjalani hari-hari ke depan, tetapi entah kenapa, secangkir kopi dan percakapan kecil tadi sedikit membuatku merasa lebih tenang.
Tiba-tiba, suara pelan dari meja sebelah menarik perhatianku. Seorang perempuan duduk di sana dengan tumpukan buku di mejanya, tampak sama tenggelamnya dalam pikirannya seperti aku. Dia menatapku sejenak, lalu tersenyum kecil.
"Kamu mahasiswa baru juga?" tanyanya dengan nada ramah.
Aku mengangguk, sedikit terkejut karena dia memulai percakapan. "Iya, baru hari pertama. Kamu juga?"
Dia tertawa kecil. "Enggak, aku udah semester lima. Tapi aku sering lihat mahasiswa baru yang lagi bingung, jadi aku nebak-nebak aja."
Aku tersenyum. "Kelihatan banget, ya, kalau aku masih bingung?"
"Tenang aja, semua orang pasti pernah ngalamin itu. Dulu aku juga sama, rasanya seperti semua hal di sekitar terlalu cepat bergerak."
Kami berbicara cukup lama, saling bertukar cerita tentang kampus, dosen, dan kehidupan di kota. Namanya Sari, dia jurusan Psikologi, dan ternyata sering belajar di kedai kopi ini juga. Dia memberi banyak tips tentang cara beradaptasi di kota dan di kampus, serta hal-hal kecil yang bisa membantu merasa lebih nyaman.
Saat percakapan kami semakin dalam, aku mulai merasa bahwa aku tidak sepenuhnya sendirian di tempat ini. Ada orang-orang yang bisa diajak bicara, meskipun hanya dalam percakapan ringan seperti ini. Dan mungkin, perlahan-lahan, aku akan menemukan tempatku di kota yang besar dan bising ini.
Sebelum Sari pergi, dia meninggalkan satu pesan yang melekat di pikiranku, "Jangan terlalu khawatir, Aksara. Kadang, perjalanan menemukan diri sendiri dimulai ketika kita berada di tempat yang paling asing."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...