Hari itu, rapat HIMA berlangsung dengan atmosfer yang berbeda. Suasana tegang terasa sejak awal, ketika semua anggota duduk dengan wajah serius. Aku duduk di antara Nara dan beberapa teman lainnya, menunggu giliran untuk berbicara.
Kak Dina memimpin rapat dengan tenang, tapi sorot matanya tetap tajam. "Hari ini kita akan bahas evaluasi kinerja setiap divisi, termasuk masalah yang kemarin dibahas. Aksara, kamu sudah tahu kan masalahnya?"
Aku meneguk ludah, mencoba menjaga wajahku tetap tenang. "Iya, Kak. Saya sudah bicara dengan beberapa anggota tentang laporan itu, dan saya ingin memberikan klarifikasi."
Semua mata tertuju padaku. Jantungku berdetak kencang, tapi aku tahu ini saatnya untuk membela diri. Aku menarik napas panjang, lalu mulai bicara.
"Selama ini, saya selalu berusaha aktif dan memberikan yang terbaik di setiap kegiatan. Kalau ada yang merasa saya terlalu dominan, saya minta maaf, tapi niat saya hanya untuk memastikan semua pekerjaan selesai dengan baik," kataku dengan suara mantap.
Kak Bimo, salah satu senior yang melaporkan aku, tampak tidak nyaman. Dia mencoba menghindari tatapanku, tapi aku tetap menatapnya dengan tegas. "Saya tidak berniat mengambil alih atau mengabaikan pendapat orang lain. Kalau ada cara kerja saya yang salah, saya siap untuk belajar dan memperbaiki diri."
Kak Dina menatapku sejenak, lalu beralih ke Kak Bimo. "Bimo, kamu yang melaporkan ini, kan? Ada yang mau kamu tambahkan?"
Kak Bimo terdiam sesaat sebelum akhirnya bicara dengan nada pelan. "Ya, mungkin saya salah paham. Saya kira Aksara terlalu cepat mengambil keputusan tanpa diskusi lebih dulu, tapi setelah bicara dengan beberapa teman, saya rasa ini cuma soal komunikasi."
Perlahan, suasana mulai mencair. Beberapa anggota lain mulai mengangguk, dan Kak Dina akhirnya berkata, "Baik, kalau begitu kita jadikan ini sebagai pelajaran untuk semua. Komunikasi itu penting. Setiap orang punya cara kerja masing-masing, dan kita harus belajar untuk bekerja sama dengan baik."
Aku merasa lega, meski masalah ini belum sepenuhnya selesai. Setidaknya, sekarang aku tahu bahwa ini bukan sepenuhnya kesalahanku.
---
Setelah rapat selesai, aku merasa sedikit lebih ringan. Meski masalah dengan HIMA masih harus diselesaikan sepenuhnya, setidaknya aku sudah mendapat penjelasan. Saat berjalan keluar dari ruangan, aku melihat Nara dan Rafif sudah menungguku di depan pintu.
"Gimana rasanya dimarahi Kak Dina?" canda Rafif setelah keheningan yang cukup lama.
Aku meliriknya, sedikit tersenyum meski hati masih bergejolak. "Serasa habis dimaki dosen killer."
Nara ikut tertawa kecil, meskipun situasinya sebenarnya cukup berat. Namun, dengan sedikit tawa dan dukungan dari mereka berdua, aku merasa lebih kuat untuk menghadapi konflik ini.
"Aku yakin kamu bisa atasin ini. Lagian, kamu lebih kuat dari yang kamu kira," kata Rafif sambil menatapku dengan senyum yang lembut.
"Tapi kalau kamu nggak kuat, jangan lupa aku ada di sini, ya," tambah Nara, menggoda dengan nada bercanda, membuat kami semua tertawa lagi.
Rasanya begitu melegakan punya teman-teman seperti mereka. Di tengah semua kesulitan, mereka selalu bisa membuatku tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema Asa di Ujung Senja
Teen FictionAksara Nurmala memutuskan meninggalkan desa untuk menjalani kehidupan baru di kota besar, memulai kuliahnya di Universitas Madya Nusantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, ia berjuang menyesuaikan diri bukan hanya dengan tuntutan akademis, t...